Kasus perkelahian antara official Timnas Sepak Bola Indonesia dengan Thailand dalam SEA Games, tadi malam, harus menjadi cerminan agar hal itu juga dalam kontestasi politik nasional.
Dalam regulasi pertandingan sepak bola yang sudah ada pakemnya saja masih terjadi perkelahian, apalagi dalam sebuah kompetisi yang regulasinya masih dijauhi oleh para pemain.
Tidak hanya itu, kontestasi politik akan jauh lebih keras menurutnya jika ditarik pada ranah ideologi.
Ideologi itu menimbulkan fanatisme yang kuat, yang militansi dan lebih ujung lagi orang akan menyebut dengan fanatisme buta. Fanatik saja sudah bermasalah, apalagi butanya.
Politik praktis yang disenyawakan dengan ideologi acapkali akan melahirkan kontestasi yang keras.
Seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1955 yang memicu adanya tragedi 1965. Dalam meredam ketegangan dan mengeliminasi faktor konflik ini menurutnya adalah tugas negara.
Menciptakan Pemilu yang langsung, bersih, jujur dan adil merupakan tugas penyelenggara negara. Pemerintah menurutnya harus memosisikan diri sebagai wasit dari pertandingan.
Oleh karena itu, pemerintah harus adil tidak boleh memihak salah satu pihak, sebab jika itu yang terjadi maka itu adalah awal dari panasnya pertandingan.
Jadi kalau yang menjadi pengawas pertandingan, lembaganya di atas tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya apalagi terlibat, maka di situlah benih konflik akan terjadi.
Selain dari elite pemerintahan, yang bisa ikut berperan meredam potensi konflik juga adalah elite agama dan kemasyarakatan. Kunci yang bisa digunakan untuk meredam konflik oleh para elite adalah menjaga kata.
Hal itu dapat dilakukan ketika berkampanye, sebab kampanye diperbolehkan, akan tetapi jika mengandung ujaran yang memecah belah itu harus dilarang.
Muhammadiyah harus pandai menjadi dan memosisikan diri. Kita bukan pemain, kita bukan yang terlibat untuk berkontestasi, kita juga bukan wasit, tapi kita wasit secara moral dan keagamaan.
Lebih dari itu, kita adalah ormas keagamaan dan ormas dakwah. Pandai-pandailah memosisikan diri.
Secara tegas Haedar berpesan supaya warga Persyarikatan Muhammadiyah dan warga bangsa supaya “tidak membeli” pernyataan-pernyataan atau ujaran kebencian pemain politik yang hoax menyebabkan pecah belah.
Meski pun ujaran pernyataan tersebut datang dari tokoh politik yang dia pilih, sebab ciri warga berkemajuan itu adalah kritis. (*)
(Disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir dalam amanat di acara Peresmian Gedung Jenderal Sudirman Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur, 17 Mei 2023)