Jejak Muhammadiyah dalam Emas Sepak Bola SEA Games 2023
foto: bola.com
UM Surabaya

‪*) Oleh: Fajar Junaedi

Indonesia berhasil mematahkan mitos tidak pernah meraih emas di SEA Games. Mitos ini terbentang selama tiga puluh dua tahun.

Tentu bukan bilangan angka yang sebentar. Hampir satu generasi, lagu kebangsaan Indonesia Raya tidak berkumandang di final sepak bola di ajang multievent terbesar di Asia Tenggara ini.

Determinasi tinggi dari para pemain dengan arahan pelatih Indra Sjafri menjadi kunci keberhasilan Indonesia. Di final, para pemain mampu mengendalikan emosi ketika wasit tidak segera meniup peluit panjang.

Kemenangan yang di depan mata hampir sirna kala pemain Thailand mampu mencetak gol di detik-detik terakhir waktu tambahan babak kedua.

Berseberangan dengan opini publik tentang pemain sepakbola Indonesia yang tidak mampu mengendalikan emosi, para pemain timnas tidak larut terprovokasi selebrasi pemain dan ofisial Thailand.

Ini adalah wajah yang sangat berbeda dengan pertandingan sepak bola di Indonesia yang acapkali melibatkan perseteruan antarpemain, ofisial, aparat, dan suporter.

Kemampuan mengendalikan emosi menjadi penting, apalagi dalam pertandingan yang berlangsung dengan tensi panas.

Sepak bola bukan saja olahraga yang melibatkan kaki, namun sepak bola adalah olahraga yang melibatkan pikiran.

Kemampuan intelektual menjadi aspek penting bagi pemain sepak bola. Beberapa pemain sepakbola yang berlaga di timnas tercatat sebagai mahasiswa yang sedang menempuh studi sarjana.

Setidaknya ada tiga pemain timnas yang berlatar berlatar belakang mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah. Rizky Ridho Ramadhani adalah mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Muhammad Ferrari adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Olahraga Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan M. Taufany Muslihudin adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Olahraga Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

 

Muhammadiyah dan Sepakbola Indonesia

Kontribusi Muhammadiyah dalam sepakbola Indonesia dimulai sejak sepak bola diperkenalkan di masa kolonialisme. Dimulai di Yogyakarta, klub sepakbola Hizbul Wathan berdiri.

Kaum muda Muhammadiyah secara aktif mengembangkan sepak bola melalui Hizbul Wathan. Setelahnya, Hizbul Wathan berdiri di berbagai kota.

Peran Muhammadiyah pengembangan sepak bola sangat jelas dalam pengorganisasian sepak bola ke dalam organisasi modern. Organisasi yang kini dikenal sebagai Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Abdul Hamid, aktivis Muhammadiyah, menjadi sosok yang menonjol dengan menjadi salah satu pendiri PSSI yang dideklarasikan pada 19 April 1930. Abdul Hamid menjadi bendahara pertama PSSI.

Di atas lapangan hijau, kader Muhammadiyah juga dikenal piawai mengolah si kulit bundar. Djamiat Dalhar adalah yang menonjol dalam sejarah sepakbola Indonesia. Mengawali karir di Hizbul Wathan, Djamiat Dalhar menjadi segelintir pemain tim nasional yang namanya diabadikan jadi nama jalan.

Di sebelah barat Stadion Mandala Krida Yogyakarta, terbentang satu ruas jalan dengan namanya. Pengabadian namanya sebagai nama jalan tentu dilatarbelakangi peran besarnya di tim nasional sepak bola merah putih, sebagai pemain dan pelatih.

Nama Djamiat Dalhar juga pernah diabadikan sebagai nama turnamen pelajar di era 1980-an. Ini menjadi fenomena yang menarik, di mana hanya beberapa legenda sepak bola yang diabadikan namanya sebagai nama turnamen.

Piala Suratin, sebuah kompetisi kelompok umur, diangkat dari nama pendiri dan ketua umum PSSI yang pertama.

Kini, Muhammadiyah terus berkontribusi dalam sepak bola Indonesia. Di tingkat pembinaan, sekolah sepakbola Hizbul Wathan menjadi ajang pembinaan sepak bola di tingkat akar rumput.

Selain sekolah sepak bola, kelas khusus olahraga di sekolah menengah atas juga menjadi ajang pembibitan pemain, seperti di SMA Muhammadiyah 7 Yogyakarta.

Di level kompetisi, Muhammadiyah berperan dengan mengikutkan beberapa tim di Liga 3 di antaranya PSHW UMY, UAD FC, PSKP Unmuh Jember, dan PSHW Ponorogo.

Selain berlaga, beberapa amal usaha Muhammadiyah menjadi sponsor klub Liga 1. Universitas Muhammadiyah Surabaya tercatat menjadi sponsor Persebaya, dan Universitas Ahmad Dahlan yang pernah menjadi sponsor PSIM Yogyakarta.

Keberhasilan Rizky Ridho Ramadhani, Muhammad Ferrari, dan M. Taufany Muslihudin menjadi teladan bagi para atlet, dan masyarakat.

Teladan untuk terus belajar mengasah kemampuan intelektualitas. Kita tentu sangat berharap, ketiganya menjadi “Djamiat Dalhar” baru yang menyejarah dalam sepakbola Indonesia. (*)

*) Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

(Artikel ini juga dimuat di muhammadiyah.or.id)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini