*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana
Nusaibah Binti Ka’ab radhiyallahu anha, adalah nama yang tercatat dalam tinta emas sejarah penuh kemuliaan. Bahkan, ketika wafat, ia disambut oleh ribuan malaikat.
Suatu hari, Nusaibah sedang berada di dapur, sementara suaminya, Said, sedang beristirahat di kamar. Tiba-tiba terdengar suara seperti gunung yang runtuh.
Nusaibah menerka itu pasti tentara musuh. Bergegas, ia meninggalkan apa yang sedang dilakukannya dan masuk ke kamar suaminya. Dengan lembut, ia membangunkan suaminya.
“Suamiku tersayang,” kata Nusaibah, “aku mendengar suara gemuruh dari Gunung Uhud. Mungkin orang-orang kafir datang menyerang.”
Said, yang masih setengah sadar, tersentak. Mengapa ia tidak mendengar suara itu, sementara istrinya bisa? Dengan segera, ia bangkit dan mengenakan pakaian perangnya. Saat ia menyiapkan kudanya, Nusaibah menyodorkan sebilah pedang.
“Suamiku, bawalah pedang ini, dan jangan pulang sebelum menang,” ucap Nusaibah tegas.
Said menatap wajah istrinya. Mendengar kata-kata itu, hilanglah semua keraguan di hatinya untuk pergi ke medan perang.
Dengan sigap, ia menaiki kudanya dan bergegas menuju pertempuran yang tengah berkecamuk.
Di sudut lain, Rasulullah tersenyum melihat Said, senyum yang semakin mengobarkan semangat keberanian di hatinya.
Di rumah, Nusaibah duduk gelisah. Kedua anaknya, Ammar dan Saad, memperhatikan ibu mereka dengan pandangan cemas. Tak lama kemudian, seorang penunggang kuda tiba dengan tergesa-gesa.
“Ibu, salam dari Rasulullah,” kata penunggang kuda itu. “Suamimu baru saja gugur di medan perang. Beliau syahid.”
Nusaibah menunduk sebentar, kemudian berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Suamiku telah menang dalam perangnya. Terima kasih, ya Allah.”
Setelah pemberi kabar itu pergi, Nusaibah memanggil Ammar, putranya. Ia tersenyum di tengah tangis yang tertahan.