“Ammar, kau lihat Ibu menangis? Ini bukan air mata kesedihan karena ayahmu syahid. Aku hanya sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk kuberikan bagi para pejuang Nabi. Maukah kau melihat Ibu bahagia?” tanya Nusaibah lembut.
Ammar mengangguk, hatinya berdebar keras.
“Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Rasulullah hingga kaum kafir terhapus,” ujar Nusaibah.
Mata Ammar bersinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Aku ragu, seandainya Ibu tidak memberi peluang untukku membela agama Allah.”
Tidak ada ketakutan sedikit pun di wajahnya. Di hadapan Rasulullah, Ammar memperkenalkan diri. Rasulullah memeluk pemuda itu dengan haru. “Engkau adalah pemuda yang sejati, Ammar. Allah memberkatimu.”
Pertempuran berlalu begitu cepat. Pagi-pagi sekali, seorang utusan pasukan Muslim berangkat dari perkemahan menuju rumah Nusaibah. Sesampainya di sana, wanita tabah itu menanti kabar.
“Ada kabar apa, gerangan?” serunya gemetar.
Sang utusan menunduk sedih. “Iya, anakmu telah gugur.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” gumam Nusaibah kecil. Ia menangis.
“Apakah kau berduka, ya Ummu Ammar?”
Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak. Aku gembira. Aku hanya sedih karena siapa lagi yang akan kuperjuangkan? Saad masih kanak-kanak.”
Mendengar itu, Saad yang berada di samping ibunya menyela. “Ibu, jangan kau remehkan aku. Jika Ibu ijinkan, aku akan tunjukkan bahwa Saad adalah putra seorang yang gagah berani.”
Nusaibah terperanjat. Ia menatap putranya. “Engkau tidak takut, nak?”
Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng yakin. Senyum terhias di wajahnya. Nusaibah, dengan hati besar, melambaikan tangannya. Saad hilang bersama utusan tentara Rasulullah.
Namun, di medan perang, sebuah anak panah menancap di dada Saad. Ia tersungkur, mencium bumi, dan menyerukan, “Allahu Akbar!”
Kembali, Rasulullah mengirim seorang utusan ke rumah Nusaibah. Mendengar berita putranya syahid, bulu tengkuk Nusaibah meremang.
“Hai utusan,” ujarnya, “kau saksikan sendiri, aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya diriku yang tersisa. Untuk itu, izinkan aku ikut ke medan perang.”