Sudahkah Kita Menghidupkan Jiwa Burung?
UM Surabaya

*)Oleh: Syahrul Ramadhan, SH, MKn
Sekretaris LBH AP PDM Lumajang

Maulid Nabi adalah momentum penting bagi umat Islam untuk merenungi keteladanan Nabi Muhammad dan memperkuat nilai-nilai keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu refleksi yang menarik dari ajaran Nabi adalah makna “jiwa burung,” yang tercermin dalam beberapa hadits.

Jiwa burung menggambarkan ketenangan, ketawakalan, dan kebebasan spiritual, yang erat kaitannya dengan keimanan dan ketergantungan total kepada Allah.

Jiwa Burung dalam Hadits

Rasulullah memberikan banyak pelajaran berharga melalui perumpamaan, termasuk perumpamaan tentang burung. Salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan:

”Ruh orang-orang mukmin itu laksana burung yang bertengger di atas pohon-pohon surga sampai Allah mengembalikannya ke tubuhnya pada hari kebangkitan.”(HR. Bukhari)

Hadits ini menggambarkan ruh orang-orang mukmin yang seperti burung, terbang bebas dan bertengger di atas pohon-pohon surga. Gambaran ini menekankan bahwa ruh seorang mukmin setelah kematian mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan di sisi Allah, layaknya burung yang bebas dari segala keterikatan duniawi, menanti kebangkitan di akhirat. Jiwa mereka telah mencapai puncak ketenangan dan kebahagiaan sejati karena keimanannya.

Makna Ketawakalan melalui Perumpamaan Burung

Selain menggambarkan kedamaian ruh di akhirat, Rasulullah juga mengajarkan kita tentang ketawakalan melalui burung. Dalam hadits riwayat Tirmidzi, beliau bersabda:

”Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung yang diberi rezeki; ia pergi di pagi hari dengan perut kosong dan pulang di sore hari dengan perut kenyang.”(HR. Tirmidzi)

Hadits ini mengajarkan betapa pentingnya ketergantungan total kepada Allah. Burung tidak pernah tahu di mana ia akan mendapatkan makanan, namun dengan penuh keyakinan, ia keluar setiap pagi mencari rezekinya. Pada akhirnya, burung tersebut kembali di sore hari dalam keadaan kenyang. Hal ini mencerminkan kehidupan orang yang beriman; jika kita menyerahkan segala urusan kepada Allah, mengupayakan yang terbaik, dan berserah diri kepada-Nya, maka Allah akan mencukupi kebutuhan kita sebagaimana Dia mencukupi rezeki burung.

Refleksi Maulid Nabi: Menghidupkan Makna Jiwa Burung

Dalam peringatan Maulid Nabi, umat Islam diingatkan untuk memperbaharui iman dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. Perumpamaan jiwa burung dalam dua hadits di atas mengandung hikmah penting bagi kita semua. Jiwa yang berserah diri kepada Allah, seperti burung yang bebas dan damai, adalah cerminan dari orang yang benar-benar bertawakal.

Momen Maulid Nabi mengajak kita untuk merenung: sudahkah kita menghidupkan “jiwa burung” dalam keseharian? Sudahkah kita benar-benar berserah diri kepada Allah dalam setiap upaya yang kita lakukan? Apakah hati kita telah bebas dari keterikatan duniawi dan terfokus pada kebahagiaan yang kekal di akhirat?

Perumpamaan jiwa burung yang diajarkan Rasulullah merupakan refleksi yang mendalam bagi umat Islam. Jiwa seorang mukmin hendaknya seperti burung: tenang, bebas, dan selalu bertawakal kepada Allah.

Dalam refleksi Maulid Nabi, kita diingatkan untuk terus memperbaiki diri, mendekatkan hati kepada Allah, dan menjalani kehidupan dengan ketawakalan yang penuh, seperti burung yang tidak pernah khawatir tentang rezekinya.

Semoga peringatan Maulid Nabi ini menjadi momen bagi kita untuk memperbaharui keimanan, menghidupkan ketenangan jiwa, dan mempraktikkan tawakal dalam setiap aspek kehidupan. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini