Kawasan Paneleh adalah deretan pemukiman yang ramai dihuni penduduk warga Surabaya. Kampung ini merupakan salah satu kampung tua di Surabaya dan berada di pinggir aliran Sungai Brantas.
Masuk di sebuah gang di Jl. Achmad Djais disambut sebuah ‘nameboard’ yang masih berdiri kokoh meski sebagian catnya buram terkelupas termakan waktu.
Plang itu bertulisakn Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur Jl. Plampitan VIII. Dari redaksinya, jelas dulunya adalah sebuah kantor dan pusat dakwah organisasi perempuan di Indonesia. Sekarang kantor organisasi ini pindah bersama induk organisasinya di Jalan Kertomenanggal, Gayungan Surabaya.
Di depan Kantor ini terdapat Langgar (Mushola) yang cukup terawat dan rapi, konstruksinya sederhana namun apik dan nyaman dilengkapi kipas angin gantung di empat sudutnya. Ini membuat semakin nyaman bagi jamaah yang beribadah atau sekadar santai membaca buku-buku ringan keagamaan.
Sebuah piagam antik tertempel di dinding masjid dilapisi mika sebagai penutup agar kertas aslinya tidak lapuk termakan cuaca. Memoar itu bertulisakan Prof. H. Abdul Gani Jl. Diponegoro II Jakarta “Keaksian masjid Plampitan Gg.VIII Suarabaya. Redaksinya tertulis rapi dengan font khas mesin ketik “jadoel” ala-ala tahun 1991.
Berdasarkan redaksi yang terpampang, masjid ini dulunya bernama “langgar” lalu berjalanya waktu pada era pasca kemerdekaan jamaahnya membludak dan diberi nama Masjid Plampitan VIII.
Bangunannya sangat simple dan sederhana, tidak banyak lekuk ruangan, hanya berbentuk persegi tanpa sekat. Ruangan berukuran sekitar 5×12 meter itu menyimpan kisah tokoh besar yang mengawal perjalanan sejarah bangsa.
Langgar ini menjadi saksi bisu pertemuan tiga tokoh penting dalam sejarah perjuangan Indonesia menuju tangga kemerdekaan: Kiai Ahmad Dahlan, HOS Cokroaminoto, dan Bung Karno.
Di ruang yang sangat sederhana ini, gagasan-gagasan besar bangsa ini lahir dari mereka yang bertemu dan mengasah gagasan tentang kemerdekaan Indonesia mulai dicanangkan.
“Bisa jadi para tokoh besar itu menggagas agenda besar negeri ini melalui langgar sepuh ini,” gumam saya dalam hati.
“Pada zamannya masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pemikiran dan diskusi tokoh bangsa dan negarawan yang berjuang melawan penjajahan,” tegas Cak Koliq, seorang warga Surabaya, aktifis Muhammadiyah yang setahun belakangan tinggal seberang jalan tidak jauh dari langgar.
Dalam Memoar “wasiat” yang tertulis didinding langgar itu berbunyi :
DR.H.Roeslan Abdulgani Jalan Diponegoro II Jakarta.
Saya lahir pada tahun 1914 di rumah di depan Masjid Plampitan Gg.VIII tersebut diatas. Sewaktu kecil saya, namanya LANGGAR.
Menurut keterangan orang-orang tua di kampong itu antara laindari BAPAK ACHMAD DJAIS, BAPAK ACHJA, BAPAK HAJI ACHMAD TOYIB, BAPAK ABDUL SAMAD, BAPAK DAN IBU SAYA yaitu H. ABDULGANI dan IBU HAJJAH SITI MURAD ABDULGANI, maka langgar itu sudah berdiri berpuluhan tahun sebelumnya. Diperkirakan sekitar tahun 1850. Hanya sederhana dari papan dan kayubaru menjelang kelahiran saya yaitu sekitar tahun 1913 langgar itu dipugar oleh bapak dan Ibu saya dengan persetujuan Sinoman Kampung Plampitan.
Pada tahun 1920-an langgar ini sering menjadi tempat tabligh (dakwah) dari tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Syarikat Islam (SI). Seperti KH.ACHMAD DAHLAN, H.O.S. TJOKROAMONINOTO, BUNG KARNO, KH. MAS MANSUR.
Kemudian sejak Nahdlatul Ulama berdiri pada tahun 1926 pemimpin-Pemimpin NU juga ikut menggunakansebagai tempat pengajian.
Benih-benih aliran nasionalisme, dan Islamisme bercita-cita kemerdekaan nasional sudah ditaburkan di langgar itu.
Pada tahun 1964, dengan bantuan Yayasan Bantuan Sosial Jatim, yang diketuai oleh Gubernur Kol. Moh.Wijono, langgar itu dipugar lagi, sehingga seperti sekarang ini.
Sejak itu, langgar diberi nama Mesjid sampai sekarang karena yang datang salat berjamaah terus bertambah, perlu didirikan tenda-tenda tambahan di tengah-tengah kampung.
Jakarta, 9 Mei 1991
WASSALAM,
Ttd
- H. ROSLAN ABDULGANI.