UM Surabaya

Di dalam perumpamaan ini terkandung pengertian yang menunjukkan bahwa pada awalnya mereka beriman, kemudian kafir, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) dalam ayat lainnya.

Pendapat yang telah kami kemukakan ini diriwayatkan oleh Ar-Razi di dalam kitab tafsirnya, dari As-Saddi. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan, tasybih atau perumpamaan dalam ayat ini sangat benar, karena mereka pada mulanya memperoleh nur berkat keimanan mereka; kemudian pada akhirnya karena kemunafikan mereka, maka batallah hal tersebut dan terjerumuslah mereka ke dalam kebimbangan yang besar, mengingat tiada kebimbangan yang lebih besar daripada kebimbangan dalam agama.

Ibnu Jarir menduga bahwa orang-orang yang disebut dalam perumpamaan ini adalah mereka yang pernah tidak beriman di suatu waktu. Dia mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya:

{وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ}

Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 8)

Akan tetapi, yang benar hal ini merupakan berita mengenai keadaan mereka di saat munafik dan kafir. Pengertian ini tidak bertentangan dengan suatu kenyataan bila mereka pernah beriman sebelum itu, tetapi iman dicabut dari mereka, dan hati mereka dikunci mati. Barangkali Ibnu Jarir tidak menyadari ayat lainnya yang membahas topik yang sama, yaitu firman-Nya:

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ}

Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi), lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (Al-Munafiqun: 3)

Karena itulah maka Ibnu Jarir menganalisis perumpamaan ini, bahwa mereka beroleh penerangan dari kalimat iman yang mereka tampakkan (yakni di dunia), kemudian hal selanjutnya yang menimpa mereka adalah kegelapan-kegelapan (yakni kelak di hari kiamat). Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam perumpamaan dianggap sah menggambarkan suatu jamaah seperti satu orang, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya:

{رَأَيْتَهُمْ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ تَدُورُ أَعْيُنُهُمْ كَالَّذِي يُغْشَى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ}

Kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati. (Al-Ahzab: 19)

Yakni seperti orang yang sedang dalam keadaan sekarat menghadapi kematiannya. Dalam ayat lain Allah (Subhanahu wa Ta’ala) berfirman:

{مَا خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ}

Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kalian (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. (Luqman: 28)

{مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا}

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. (Al-Jumu’ah: 5)

Sebagian ulama menakwilkannya, bahwa makna yang dimaksud ialah kisah mereka sama dengan kisah orang-orang yang menyalakan api. Sedangkan menurut ulama lainnya, orang yang menyalakan api itu adalah salah seorang dari mereka. Menurut yang lainnya lagi, lafaz al-lazi dalam ayat ini mengandung makna al-lazina (orang banyak), sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam perkataan seorang penyair berikut:

وَإِنَّ الَّذِي حَانَتْ بِفَلْجٍ دِمَاؤُهُمْ … هُمُ الْقَوْمُ كُلُّ الْقَوْمِ يَا أُمَّ خَالِدِ

Sesungguhnya orang-orang yang telah tiba masanya bagi mereka mengalirkan darahnya (berkurban) di Falaj adalah kaum itu seluruhnya, hai Ummu Khalid!

Menurut kami, dalam ungkapan ini terjadi iltifat (pengalihan pembicaraan), yaitu di tengah-tengah perumpamaan dari bentuk tunggal kepada bentuk jamak. Sebagaimana yang terdapat di dalam firman-Nya:

{فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ * صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ}

Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali ke (jalan yang benar). (Al-Baqarah: 17-18)

Ungkapan seperti ini lebih fasih dan lebih mengena susunannya.

Zahaballahu binurihim, Allah hilangkan dari mereka manfaat api yang sedang mereka perlukan untuk penerangan; dan membiarkan hal yang membahayakan diri mereka, yaitu bara dan asapnya.

Watarakahum fi zulumatin, dan Allah membiarkan mereka berada dalam kegelapan (yakni keraguan, kekufuran, dan kemunafikan mereka).

La yubsirun, mereka tidak dapat melihat, yakni tidak mendapat petunjuk untuk menempuh jalan kebaikan dan tidak pula mengetahuinya.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini