*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Eksistensi agama dipandang meresahkan dan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, muncul gugatan yang menginginkan kebebasan tanpa menganut agama.
Hal ini bukan hanya menjadi tantangan bagi agama itu sendiri, tetapi juga menjadi pekerjaan bagi pimpinan agama.
Dengan adanya keinginan untuk tidak beragama, bisa jadi ini menunjukkan kegagalan para dai dalam meyakinkan pengikutnya tentang hakekat beragama, atau kegagalan penganut agama itu sendiri dalam menginterpretasi dan mempraktikkan agama sebagai nilai yang mendatangkan optimisme dalam beragama.
Yang lebih memprihatinkan adalah munculnya pemurtadan yang dilakukan oleh pihak-pihak eksternal terhadap generasi Islam, baik secara terbuka maupun sistematis.
Menggugat Agama
Beragama dipandang sebagai hal yang menggelisahkan, sehingga ada keinginan untuk bebas tak beragama.
Kegelisahan inilah yang mendasari Raymond dan Indra Syahputra menggugat Undang-Undang yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbolehkan warga tidak menganut agama.
Surat permohonan bernomor 146/PUU-XXII/2024 itu merupakan fakta yang menggelisahkan sebagian warga negara yang menganggap beragama justru membuat diri mereka tidak tenang atau jauh dari kebahagiaan.
Bagi mereka, tidak beragama merupakan bagian integral dari hak asasi manusia. Beragama dipandang penuh dengan norma-norma yang menekan, sehingga tidak memberikan kebebasan.
Terlebih lagi, dalam masyarakat yang pluralistik, kebebasan untuk tidak beragama dipandang sebagai sebuah keniscayaan dan harus diberi ruang seluas-luasnya.
Dalam konteks ini, mewajibkan memeluk agama bertentangan dengan kehidupan modern yang memberikan kepada setiap individu kebebasan untuk tidak beragama.
Apalagi melihat realitas, mereka yang beragama tidak tercermin dalam kehidupan sosialnya, seperti beragama tetapi melakukan korupsi, menipu, atau bertindak dzalim.
Dalam pandangan mereka, beragama tidak membuat pribadi lebih religius, tetapi justru menjadikan agama sebagai alat untuk memperkaya diri.