Kalau kita mencoba menengok dari sudut kesehatan, miras mengandung bahan berbahaya. Koran Jawa Pos Sabtu (26/10/2024) melaporkan dampak miras (alkohol) terhadap kesehatan tubuh itu mengakibatkan masalah pada jantung, ginjal, hati, pankreas, reproduksi, metabolisme, kenaikan berat badan, tekanan darah tinggi, gangguan pencernaan, gangguan fungsi mata, kerusakan tulang, diabetes, dan gangguan kehamilan.
Setumpuk masalah ini hendaknya menjadi perhatian saksama dan serius oleh masyarakat. Jauhilah miras sekarang juga. Buat apa berpesta pora miras jika hanya bisa menikmati sesaat tetapi menderita selamanya.
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Maka tidak berlebihan bilamana agama melarang manusia mengonsumsi miras. Hal ini kongruen dengan masalah yang ditimbulkan sebagaimana yang dibentangkan di atas tadi. Agama menyebut miras dengan term khamar.
Muhammad Ridha Basri dalam opini koran Kedaulatan Rakyat, Sabtu (25/10/2024), menyebut khamar telah membawa nestapa kelam terhadap akal, moral, dan tatanan sosial. Khamar menghilangkan kendali seseorang atas pikirannya, yang kemudian mengarah pada perilaku kelam yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Hal ini diperkuat dengan argumentasi rasional Nabi Muhammad Saw. “Setiap yang memabukan adalah khamar. Dan setiap khamar adalah haram,” tegasnya dalam riwayat Muslim.
Nabi akhir zaman telah menyadarkan kita penegasan pengharaman khamar. Jika Nabi saja sudah memberikan sinyal demikian, semestinyalah kita sebagai umat beriman autentik harus menghindarinya. Semua baru terkejut ketika sudah merasakan dampaknya, tetapi sudah terlambat. Silakan nikmati sendiri kesengsaraannya.
Betapa malunya kita sebagai umat manusia yang dimuliakan Allah. Seketika dirobek dengan berbuat destruktif seperti itu. Manusia mulia, tetapi kemuliaan itu terkadang hanya sebatas emblem semata, tidak melekat dalam sukma.
Mulia dalam kata, tetapi tidak teraktualisasi dalam tindakan nyata. Orang kalau sudah tercekoki oleh hal-hal subal, maka ia akan rabun pada jalan kebenaran. Sudah pasti, tidak mau menerima wejangan dan masukan dari orang lain. Merasa diri paling benar sendiri (semuci), akan tetapi pada kenyataannya justru malah keblinger.
Hendaknya perlu dicoba agar menahan diri agar tidak kelayu berburu miras. Ini harus diakui berat nian. Hasrat yang terlampau tinggi meniscayakan manusia tersedot oleh pusaran kesenangan duniawi yang sesungguhnya hanya sekadar fatamorgana semata.
Duniawi itu tampak nikmat. Semuanya dibabat. Tetapi, ada batasannya yang ini kemudian diterabas begitu saja oleh manusia. Pada titik ini manusia hanya ingin menikmati kesenangannya tanpa melihat dampaknya hatta atas hal yang dilakukannya tersebut.