*)Oleh: Ubaidillah Ichsan, S Pd
Korps Mubaligh Muhammadiyah PDM Jombang
“Silence doesn’t mean we are weak, sometimes we know what to say. But we don’t want to hurt someone’s feelings”
“(Diam bukan berarti lemah, terkadang kita tahu apa yang harus kita katakan. Tapi kita tidak ingin melukai perasaan seseorang)”
Dalam era informasi yang serba cepat, di mana suara bising begitu mudah menyelimuti kehidupan kita, ajakan untuk “belajar diam” mungkin terdengar kontraintuitif. Namun, dalam Islam, diam memiliki nilai yang sangat tinggi dan dikaitkan dengan berbagai hikmah. Sebagaimana ditegaskan dalam Firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasr: 18)
Pada ayat ini Allah SWT mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan introspeksi diri. Proses ini tentu membutuhkan ketenangan dan keheningan.
Sehingga berhati-hatilah dengan lisan, jangan sampai digunakan untuk mencemooh, mengejek orang lain, apalagi ditujukan pada seorang muslim yang ingin menjalankan ajaran Islam. Jadi satu kondisi, diam itu emas jika diamnya adalah dari membicarakan orang lain, atau diamnya dari berbicara yang sia-sia atau berbau maksiat.
Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Dari Abu Hurairah, Rosulullah SAW bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِى بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِى النَّارِ
Artinya:
“Sesungguhnya seseorang berbicara dengan suatu kalimat yang dia anggap itu tidaklah mengapa, padahal dia akan dilemparkan di neraka sejauh 70 tahun perjalanan karenanya.” (HR. At-Tirmidzi No. 2314)
Imam Nawawi dalam Syarh Muslim (18/117) tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Ini semua merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya:
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.” (HR. Bukhari No. 6018 dan Muslim No. 47).
Hadis ini dengan jelas menunjukkan pentingnya menjaga lisan dan memilih diam daripada berbicara yang tidak bermanfaat.
Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, merenungkan apa yang akan ia ucap. Jika memang ada manfaatnya, barulah ia berbicara. Jika tidak, hendaklah dia menahan Lisannya.
Jadi dalam kehidupan yang penuh hiruk pikuk, belajar diam adalah sebuah keutamaan. Diam bukan hanya sekadar tidak berbicara, tetapi juga merupakan kondisi batin yang tenang dan damai. Dengan diam, kita dapat lebih fokus pada hal-hal yang penting, meningkatkan kualitas ibadah, dan menjaga hubungan baik dengan sesama.
Penting untuk diingat diam bukan berarti kita tidak boleh berbicara sama sekali. Diam yang dimaksud adalah diam dari hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti ghibah, namimah, dan perkataan yang menyakitkan.
Semoga bermanfaat.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News