Sebagai seorang rasul yang mendapatkan kabar sahih dari langit, tentu tidak ingin anaknya celaka dan mati sia-sia.
Anaknya tidak mengikuti ajakan ayahnya karena terpengaruh oleh orang-orang kafir. Pergaulan yang salah inilah yang menyebabkan tertutup hati.
Tertutupnya hati itu berkonsekuensi penolakan terhadap datangnya petunjuk.
Bagian lainnya tetap utuh, dan Anda dapat menyematkan ayat kedua:
قَالَ سَـَٔاوِيٓ إِلَىٰ جَبَلٖ يَعۡصِمُنِي مِنَ ٱلۡمَآءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ ٱلۡيَوۡمَ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ ۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا ٱلۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡمُغۡرَقِينَ
“Anaknya menjawab, ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nūḥ berkata, ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang’. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hūd: 43)
Kan’an menunjukkan dua kesalahan utama:
- Mengandalkan akal yang terbatas. Dalam pandangannya, gunung adalah tempat yang aman karena selama ini belum pernah banjir setinggi itu. Namun, ia tidak menyadari bahwa akalnya terbatas dalam memahami kekuasaan Allah.
- Memandang lemah kekuasaan Allah. Allah memerintahkan langit untuk menurunkan hujan dan bumi mengeluarkan air, sehingga banjir besar mampu menenggelamkan gunung. Kekuasaan Allah sangatlah mutlak.
Manusia yang melepaskan diri dari Allah menutup pintu hatinya dari petunjuk-Nya. Ketika petunjuk datang, mereka menolaknya. Akibatnya, Allah mengunci hati mereka sehingga petunjuk sulit masuk.