*)Oleh: Sigit Subiantoro
Anggota Majelis Tabligh PDM Kabupaten Kediri
Seorang anak yang tidak suka tinggal di rumah, karena ayah ibunya selalu ‘ngomel’, ia tak suka bila ibunya mengomelinya untuk hal-hal kecil ini.
“Nak ! Kalau keluar kamar matikan kipas anginnya.”
“Matikan TV, jangan biarkan hidup tapi tak ada yang menonton !
Simpan pena yang jatuh ke kolong meja di tempatnya !”
Tiap hari dia harus taat pada hal-hal ini sejak kecil, saat bersama keluarga di rumah.
Maka tibalah hari ini, saat dia menerima panggilan untuk wawancara kerja.
Dalam hati dia berkata : “Begitu mendapat pekerjaan, saya akan menyewa rumah sendiri.
Tak akan ada lagi omelan ibu ayah,” begitu pikirnya.
Ketika hendak pergi untuk wawancara, ibunya berpesan :
“Nak ! Jawablah pertanyaan yang diajukan tanpa ragu-ragu.
Bahkan jika engkau tidak tahu jawabannya, katakan sejujurnya dengan percaya diri….”
Ibunya memberinya uang lebih banyak dari ongkos yang dibutuhkan untuk menghadiri wawancara.
Setiba di pusat wawancara, diperhatikannya bahwa tidak ada penjaga keamanan di gerbang.
Meskipun pintunya terbuka, gerendelnya menonjol keluar, dan bisa membuat yang lewat pintu itu menabrak atau bajunya tersangkut grendel.
Dia geser gerendel ke posisi yang benar, menutup pintu dan masuk menuju kantor.
Di kedua sisi jalan dia lihat tanaman bunga yang indah.
Tapi ada air mengalir dari selang dan tak ada seorang pun di sekitar situ.
Air meluap ke jalan setapak.
Diangkatnya selang dan diletakkannya di dekat salah satu tanaman dan melanjutkan kembali langkahnya.
Tak ada seorang pun di area resepsionis.
Namun, ada petunjuk bahwa wawancara di lantai dua.
Dia perlahan menaiki tangga.
Lampu yang dinyalakan semalam masih menyala, padahal sudah pukul 10 pagi.
Peringatan ibunya terngiang di telinganya :
“Mengapa kamu meninggalkan ruangan tanpa mematikan lampu ?”
Dia merasa agak jengkel oleh pikiran itu, namun dia tetap mencari saklar dan mematikan lampu.
Di lantai atas di aula besar dia lihat banyak calon duduk menunggu giliran.
Melihat banyaknya pelamar, dia bertanya-tanya, apakah masih ada peluang baginya untuk diterima ?
Dia pun menuju aula dengan sedikit gentar dan menginjak karpet dekat pintu bertuliskan “Selamat Datang”.
Diperhatikannya bahwa karpet itu terbalik. Spontan saja dia betulkan, walau dengan sedikit kesal.
Dilihatnya di beberapa baris di depan banyak yang menunggu giliran, sedangkan barisan belakang kosong.
Terdengar suara kipas angin, dimatikanya kipas yang tidak dimanfaatkan dan duduk di salah satu kursi yang kosong.
Banyak pria memasuki ruang wawancara dan segera pergi dari pintu lain.
Karena itu tak mungkin ada yang bisa menebak apa yang akan ditanyakan dalam wawancara.
Tibalah gilirannya, dia masuk dan berdiri di hadapan pewawancara dengan agak gemetar dan pesimis.
Sesampainya di depan meja, pewawancara langsung mengambil sertifikat, dan tanpa bertanya langsung berkata :
“Kapan Anda bisa mulai bekerja ?”
Dia terkejut dan berpikir, “apakah ini pertanyaan jebakan, atau tanda bahwa telah diterima untuk bekerja di situ ?”
Dia bingung.
Apa yang Anda pikirkan ?” tanya sang boss lalu melanjutkan :
Kami tidak mengajukan pertanyaan kepada siapa pun di sini.
Sebab hanya dengan mengajukan beberapa pertanyaan, kami tak akan dapat menilai siapa pun.
Tes kami adalah untuk menilai sikap orang tersebut.
Kami melakukan tes tertentu berdasarkan sikap para calon.
Kami mengamati setiap orang melalui CCTV, apa saja yang dilakukannya ketika melihat gerendel di pintu, selang air yang mengalir, keset “selamat datang” yang terbalik, kipas atau lampu yang tak perlu.
“Anda satu-satunya yang melakukan.
Itu sebabnya kami memutuskan untuk memilih Anda !”
Hatinya terharu, dia ingat ibunya.
Dia yang selalu merasa jengkel terhadap disiplin dan omelan ibu ayahnya.
Kini dia menyadari bahwa justru omelan dan disiplin yang ditanamkan orang tuanyalah yang membuatnya diterima pada perusahaan yang diinginkannya.
Kekesalan dan kemarahannya pada ibunya seketika sirna.
“Hanya Anda satu-satunya yang melakukan apa yang kami harapkan dari seorang manajer, maka kami putuskan menerima Anda bekerja di sini”.
ibu ! Ma’afkan anakmu, bisiknya dalam hati penuh rasa haru dan syukur.
Dia akan minta maaf kepada ibunya, dia akan mengajak ibunya melihat tempat kerjanya.
Dia pulang ke rumah dengan bahagia.
Apa pun yang orang tua katakan pada anaknya, adalah demi kebaikan anak-anak itu sendiri, untuk menyiapkan masa depan yang baik !
“Batu karang tak akan menjadi patung yang indah bernilai tinggi, jika tak dapat menahan rasa sakit saat pahat bekerja memotongnya”.
Untuk menjadi pribadi yang indah, kita perlu menerima dan mematuhi nasihat yang baik.
Kebiasaan baik akan muncul dari perilaku buruk yang dipahat dan dibuang dari diri kita.
Ibu menggendong anak di pinggangnya untuk memeluk, memberi makan dan untuk membuatnya tidur.
Tetapi ayah mengangkat anak dan mendudukkan di pundaknya, untuk membuatnya melihat dunia yang tidak bisa dilihat anaknya.
Ayah dan ibu adalah pahlawan, yang kasih sayangnya layaknya guru yang mendampingi anak sepanjang kehidupan.
Perlakukanlah orangtua sebaik-baiknya, agar jadi contoh dan bimbingan dari generasi ke generasi, yang menerima estafet kehidupan.
Semoga bermanfaat.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News