Dalam agama Islam, waktu memiliki kedudukan yang sangat penting dan tidak dibiarkan berlalu begitu saja.
Tidaklah seorang hamba melewati sebuah hari, jam demi jam, menit demi menit, kecuali di dalamnya terdapat peluang untuk mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala telah mengatur waktu seorang muslim dengan sedemikian rupa. Dari ia bangun tidur di pagi hari hingga ia tidur kembali, ada ibadah dan amal saleh yang bisa diamalkan dan dipraktikkan setiap detiknya.
Saat seorang hamba bangun tidur, lalu mengambil air wudu dan melaksanakan salat dua rakaat, maka ia mendapatkan pahala yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
D”ua rakaat fajar (salat sunah qabliyah subuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim no. 725)
Jika keutamaan salat sunah fajar saja demikian besarnya, lalu bagaimana dengan keutamaan salat Subuh itu sendiri?!
Saat matahari telah beranjak naik, seorang ayah keluar untuk mencari nafkah bagi keluarganya, maka ini juga bernilai pahala baginya apabila diniatkan ikhlas mengharap rida Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi).” (HR. Muslim no. 995)
Di siang hari saat ia makan siang, lalu bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang telah diberikan kepadanya, maka ini juga bernilai pahala baginya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda,
الطاعمُ الشَّاكرُ بمنزلةِ الصائمِ الصابرِ
“Orang makan yang bersyukur, kedudukannya seperti halnya orang berpuasa yang bersabar.” (HR. At-Tirmidzi no. 2486, Ibnu Majah no. 1764, dan Ahmad no. 7793)
Belum lagi salat lima waktu yang dikerjakannya, zikir-zikir yang dilantunkannya, perbuatan baik dan budi pekerti mulia yang menghiasi dirinya, semua itu jika dijalankan dengan niat menaati Allah dan Rasulnya, maka juga dinilai sebagai ibadah oleh Allah Taala.
Seorang mukmin harus memanfaatkan seluruh waktu dan umur yang dimilikinya untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Tidak menunggu esok hari untuk melakukan sebuah ketaatan dan amal saleh. Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk memaksimalkan waktu yang kita miliki dan tidak menunda-nunda dalam berbuat baik.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ
“Maka, apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Al-Insyirah: 7)
Lihatlah juga bagaimana para pendahulu kita di dalam mengatur dan memaksimalkan waktu yang mereka miliki. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengatakan:
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْئٍ نَدْمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ نَقَصَ فِيْهِ أَجَلِيْ وَلَمْ يَزِدْ فِيْهِ عَمَلِيْ
“Aku tidak pernah memiliki penyesalan yang demikian mendalam dibandingkan dengan penyesalanku akan berlalunya satu hari yang amalku tidak bertambah pada hari itu, padahal ajalku semakin berkurang.”(Qimah Az-Zaman Inda Al-Ulama, hal. 47)