Beriman: Di Antara Kebahagiaan, Ancaman dan Godaan Penyimpangan
UM Surabaya

*)Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Setelah mengkaji seluruh narasi Al-Qur’an, setidaknya bisa disimpulkan bahwa  seorang yang memilih jalan hidup sebagai hamba yang beriman dituntut untuk membuktikan nilai-nilai keimanan dalam kehidupan. Pembuktian atas keimanan itu diwujudkan dengan menjadi hakim ketika memutuskan perkara. Dengan menjadikan hukum Allah sebagai hakim maka akan berujung kebahagiaan. Apa yang dialami para rasul menjadi bukti adanya kebahagiaan bagi yang menjalankan prinsip keimanan.

Namun dalam kenyataannya, mewujudkan hal itu menimbulkan risiko yang cukup berat. Tidak sedikit orang yang beriman mengalami ancaman hidup. Dengan ancaman itu ada yang kokoh namun juga ada yang menyimpang dari keimanannya. Dengan kata lain, orang yang beriman akan mengalami  konsekuensi logis berupa ancaman dan penderitaan hidup, sebagaimana yang dialami Ashabul ukhdud, dan ada pula yang lemah sehingga di satu sisi beriman tetapi di sisi lain menduakan keimanannya.

Beriman dan Kebahagiaan

Al-Qur’an memastikan bahwa hamba yang beriman dan memegang teguh jalan keselamatan akan mendapatkan karunia besar, dan hidup dalam kebahagiaan. Hal ini ditunjukkan dengan kehidupan para rasul  yang begitu gigih dalam memegang prinsip sebagai hamba yang beriman. Mereka gigih dan sabar menjalani hidup sebagai orang beriman dengan menunaikan Amanah dengan sungguh-sungguh.

Bahkan sebagai hamba yang beriman, mereka bangga dengan keimanannya dan berupaya untuk memperjuangkan dalam kehidupan di tengah masyarakat yang kompleks. Para rasul mendeklarasikan sebagai pribadi yang bertauhid, dan berupaya menjadikan Allah sebagai satu-satunya Dzat yang wajib diagungkan dan disembah.

Mereka pun gigih dalam menegakkan nilai-nilai tauhid itu meskipun masyarakatnya sangat gigih dalam menyembah berhala. Tuduhan sebagai hamba yang sesat, menyimpang, gila, atau terkena sihir. Bahkan terusir dari komunitasnya merupakan konsekuensi yang harus dihadapi.

Apa yang dialami Nabi Ibrahim menjadi salah satu contoh begitu gigih dan tangguhnya berpegang teguh dengan keimanannya. Dimulai dengan mendakwahi orang tuanya, sebagai pembuat patung, hingga mendatangi tempat ibadah yang penuh berhala, telah dilakukan Nabi Ibrahim. Apa yang dilakukan rasul Allah ini berujung pengusiran dan pembakaran karena semata-mata mendeklarasikan sebagai hamba yang beriman.

Hal yang sama juga dialami Nabi Muhammad yang mendakwahkan tauhid secara terbuka. Beliau mengajak kaumnya untuk meninggalkan berhala dan menyembah hanya kepada Allah saja. Rasulullah mendapat karunia besar dan ingin membagikannya kepada Masyarakat Quraisy. Karunia besar berupa kitab dan hikmah inilah yang membuat komunitas Quraisy dengki dan berupaya ingin meniadakannya. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

أَمۡ يَحۡسُدُونَ ٱلنَّاسَ عَلَىٰ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ ۖ فَقَدۡ ءَاتَيۡنَآ ءَالَ إِبۡرَٰهِيمَ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَءَاتَيۡنَٰهُم مُّلۡكًا عَظِيمٗا

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (QS. An-Nisā : 54)

Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan nabi sebelumnya merupakan bentuk kebanggaan sebagai hamba yang beriman. Allah pun mengganjar mereka dengan kerajaan yang amat besar dan agung. Para nabi dan rasul berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjadi Kitabullah sebagai hakim di dalam memutuskan perkara di tengah masyarakatnya.

Pengagungan terhadap Kitabullah dan berupaya menjadikannya sebagai pemutus setiap  perkara merupakan bukti adanya keimanan yang mereka ikrarkan. Nabi Muhammad benar-benar memberi solusi terbaik terhadap perkara-perkara yang dipersilihkan. Beliau sebagai hakim dan membuat masyarakatnya berserah diri terhadap keputusan yang ditetapkan Nabi. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا

Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisā : 65)

Dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai hakim dalam memutuskan perkara, maka Allah menurunkan kebahagiaan. Itulah gambaran komunitas yang memegang teguh keimanan sehingga diberkahi dalam kehidupannya.

Ancaman dan Stigma Buruk

Dalam menjalani hidup sebagai orang yang beriman harus menyiapkan diri dengan berbagai konsekuensi. Al-Qur’an menggambarkan bahwa hamba yang memegang teguh nilai-nilai iman dan berupaya menyatakannya akan menghadapi resiko terburuk. Orang yang beriman dipandang sebagai manusia yang salah, sehingga harus mengalami penderitaan. Perjuangan memegang teguh nilai-nilai iman membuahkan hasil berupa siksaan.

Al-Qur’an menunjukkan apa yang dialami oleh orang-orang beriman yang dimasukkan ke dalam parit karena keimanannya. Mereka diminta keluar dari keimanannya, tetap kokoh. Akibat dari kekokohan memegang prinsip sebagai orang beriman, maka mereka dinistakan dan dilempar ke dalam parit yang berkobar api. Hal ini dinarasikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَمَا نَقَمُواْ مِنۡهُمۡ إِلَّآ أَن يُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ

Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, (QS. Al-Burūj : 8)

Mendeklarasikan sebagai manusia yang beriman mendatangkan konsekuensi yang tidak kecil. Mereka harus menderita dan bahkan terbunuh karena keimanannya. Mereka dinyatakan bersalah dan harus dibunh karena satu kesalahan, yakni karena beriman.

Apa yang dialami oleh orang beriman di atas juga terjadi pada kaum-kaum sebelum dan sesudahnya. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya juga tidak berbeda. Nabi Muhammad mengalami penghinaan dan pelecehan. Bahkan apa yang dialami para sahabat, khususnya yang secara ekonomi sangat rendah mengalami siksaan yang amat parah. Bilal bin Rabbah bisa dijadikan contoh sebagai seorang yang bertahan dan berpegang teguh pada imannya, sehingga mengalami penistaan dan penyiksaan di hadapan Masyarakat kafir Quraisy.

Bukannya goyah, Bilal justru semakin teguh atas siksaan yang diterimanya. Bilal merasa bahagia dengan keimanannya sehingga menolak keluar dari agamanya. Itulah gambaran tentang konsekuensi hamba yang teguh dalam keimanannya, dan siap menghadap berbagai penderitaan.

Godaan Menyimpang

Al-Qur’an juga memaparkan bahwa untuk bertahan sebagai orang yang beriman menghadapi tantangan cukup berat. Godaan untuk menyimpang sangat terbuka. Sebagai orang yang beriman diperintahkan menyembah hanya kepada Allah. Namun godaan untuk menyembah kepada selain-Nya terbuka lebar.

Setan membuka jalan bagi orang yang beriman untuk berbuat menyimpang. Makhluk terlaknat ini mengajak kepada orang yang beriman, di samping menyembah Allah, juga menyembah kepada selain-Nya (Thaghut). Peluang untuk menyimpang dari penyembahan yang benar terus diupayakan setan, sehingga orang yang beriman memiliki ketergantungan kepada dua kekuatan, Allah dan ciptaan-Nya.

Al-Qur’an menarasikan bahwa orang yang beriman kepa Thaghut otomatis tidak lagi menjadikan hukum Allah sebagai haim ketika memutuskan perkara. Ketika terjadi perselisihan, bukan Al-Qur’an yang dijadikan rujukan dan sandaran, tetapi justru menjadikan akal dan budaya setempat. Dengan kata lain, ketika menghadapi persoalan pelik dan sulit, mereka justru mengedepankan pertimbangan maslahat dan mafsadat yang bersandar pada akal dan pertimbangan manusia. Mereka tidak lagi mengambil dan merujuk pada ketetapan Allah.

Dalam menetapkan hukum waris, mereka membagi sama antara laki-laki dan perempuan. Pembagian waris dengan kuantitas yang sama merupakan hal yang adil dan sesuai dengan tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Demikian pula ketika berani menghalalkan praktik korupsi dan suap. Hal ini dianggap sebagai budaya yang sulit dihindarkan.

Praktek keagamaan yang menyimpang di atas merupakan bentuk pemberhalaan kepada thaghut, dan berani menyimpang dari aturan yang sudah jelas di dalam Al-Qur’an. Praktek mencampuradukkan nilai-nilai telah digambarkan dengan detail, sebagaimana termaktub dalam Firman-Nya :

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ يَزۡعُمُونَ أَنَّهُمۡ ءَامَنُواْ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓاْ إِلَى ٱلطَّٰغُوتِ وَقَدۡ أُمِرُوٓاْ أَن يَكۡفُرُواْ بِهِۦ ۖ وَيُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ ضَلَٰلَۢا بَعِيدٗا

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada ṭhaghūt, padahal mereka telah diperintah mengingkari ṭagūt itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisā : 60)

Demikianlah paparan Al-Qur’an tentang berbagai bentuk ekspresi dalam konteks beriman. Pertama, beriman mendorongnya berpegang teguh atas keimanannya karena akan mendatangkan kebahagiaan. Kedua, beriman mendatangkan ancaman dan stigma buruk sehingga berujung mengalami penderitaan. Ketiga, beriman mengalami godaan dan penyimpangan sehingga di satu di sisi mengagungkan Allah dan di sisi lain mengagungkan sesembahan selain-Nya.

Surabaya, 4 Desember 2024

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini