Cerita Mundakir, Anak Buruh Asal Babat, yang Kini Jadi Rektor UM Surabaya
Mundakir bersama Tardji saat pelantikan rektor. foto: humas um surabaya
UM Surabaya

Dua tangan Mundakir terlihat gemetar. Wajahnya menegang, matanya berkaca-kaca, sementara ia mencoba menutupi hidung dan mulutnya dengan kedua tangan.

Tangis haru menyelimuti momen yang tak terlupakan dalam hidupnya. Mundakir, anak buruh serabutan dari Gendong Kulon, Babat, Lamongan, kini menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya).

Saat itu, di Gedung At-Tauhid Tower UM Surabaya, Senin (9/12/2024), sebuah video singkat ditayangkan. Video tersebut dibuat oleh Tim Humas UM Surabaya. Menuturkan perjalanan hidup Mundakir yang penuh perjuangan.

Sebuah kisah yang dimulai dari keluarga sederhana. Ayahnya, Tardji, seorang buruh serabutan lulusan SD. Dan ibunya, almarhumah Mundari, yang berdagang kecil di pasar demi mencukupi kebutuhan lima anak mereka.

Baca juga: Dilantik Jadi Rektor Baru, Ini Sambutan Perdana Mundakir

Sejak kecil, Mundakir menunjukkan keinginan kuat untuk menjadi yang terbaik. Meski fasilitas sangat terbatas, ia tak pernah berhenti belajar.

Kakaknya, Tarmining, mengenang, “Dia membaca apa saja yang ia temukan. Buku, kertas bekas, bahkan tulisan di dinding.”

Setiap hari, Mundakir berjalan kaki sejauh dua kilometer ke sekolah. Sepulang sekolah, ia membantu ayahnya di sawah.

Keluarganya sempat menjadi transmigran di Sumatera, namun harapan untuk kehidupan yang lebih baik kandas, hingga mereka kembali ke Lamongan.

Saat bersekolah di MTsN 1 Lamongan, sang ayah rela berutang demi membiayai pendidikan anak-anaknya.

Mundakir kemudian melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 Babat, tempat ia aktif di Pelajar Muhammadiyah dan menjadi wakil sekolah dalam berbagai lomba. Dalam keterbatasan, ia tetap berprestasi, sering meraih peringkat pertama di kelas.

***

Selepas SMA, cita-cita Mundakir menjadi guru agama tertunda. Ia bekerja sebagai buruh proyek rel kereta api, tukang kayu, hingga tukang potong rambut di Surabaya.

Setelah dua tahun, ia kembali ke desa membantu ayahnya bertani semangka. Hasil kerja kerasnya memungkinkan keluarga membeli seekor sapi, dan dari sinilah ia berani melanjutkan pendidikan.

Pada 1998, Mundakir diterima di Diploma III Keperawatan UM Surabaya. Sebagai mahasiswa, ia tetap gigih, aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan menjadi Wakil Ketua organisasi tersebut.

Baca juga: Pelantikan Rektor Baru UM Surabaya: Sukadiono Titip 4 Pesan Penting, Apa Saja?

Perjuangannya berlanjut hingga jenjang sarjana, profesi ners, magister di Universitas Indonesia, dan doktor di Universitas Airlangga.

Sebagai akademisi, Mundakir meniti karier dari bawah. Ia pernah menjabat Sekretaris Program Studi, Kaprodi, Wakil Dekan, Dekan, hingga Wakil Rektor IV. Kini, sebagai rektor, ia memimpin UM Surabaya dengan segudang prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Dalam kehidupan keluarga, Mundakir juga menjadi teladan. Ia mendukung penuh pendidikan istrinya, Nuzul Qur’aniati, yang kini menjadi dosen di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga.

Meski pernah menjalani hubungan jarak jauh saat istrinya menempuh pendidikan di Australia, keduanya saling menguatkan.

Kisah Mundakir adalah bukti nyata bahwa keterbatasan bukan penghalang, melainkan tantangan untuk dihadapi dengan tekad, kerja keras, dan doa.

“Saya ingin membuktikan kepada orang tua bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia,” ucapnya penuh haru.

Dari seorang anak buruh serabutan hingga menjadi rektor, Mundakir menunjukkan bahwa mimpi besar tidak mengenal batas.

Semangatnya adalah inspirasi bagi semua, bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk meraih puncak tertinggi, asalkan berani bermimpi dan bekerja keras untuk mencapainya. (wh)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini