*)Oleh: Muhammad Roissudin
Dunia maya Indonesia sedang riuh dengan fenomena korban perundungan (bullying) yang berujung pada aksi filantropi luar biasa. Kisah ini bermula dari seorang penjual es teh keliling yang mendapatkan perlakuan perundungan di sebuah acara pengajian. Seorang mubaligh terkenal, yang kita sebut saja dengan inisial GM, mengomentari aksinya dengan nada sarkastis dan melontarkan kata “Gblk*”, meski dalam konteks candaan. Namun, kata-kata yang mengandung makna tidak lazim tersebut memicu kontroversi.
Reaksi publik pun datang dalam gelombang simpatik yang sangat besar, dengan dukungan berupa donasi yang mencapai ratusan juta rupiah. Fenomena ini mencerminkan bagaimana ketidakadilan dapat memicu solidaritas sosial yang luar biasa dan membawa berkah bagi banyak pihak.
Kasus serupa juga pernah terjadi sebelumnya, seperti yang dialami oleh Agus, seorang korban perundungan yang menyebabkan kebutaan, dan Sosialita Novi, seorang wanita yang melalui yayasan sosialnya mampu mengumpulkan donasi miliaran rupiah lewat sebuah podcast yang viral.
Meski sempat memunculkan perdebatan terkait penyelesaian masalah di Kementerian Sosial, fenomena ini tetap menunjukkan bagaimana perundungan bisa memicu dukungan masyarakat yang melahirkan aksi filantropi publik dalam berbagai bentuk.
Fenomena Perundungan yang Berbuah Gerakan Sosial
Di era digital saat ini, fenomena perundungan semakin marak. Kemudahan akses media sosial dan teknologi informasi memungkinkan perundungan terjadi tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga verbal, bahkan di dunia maya. Deretan kasus korban di atas adalah contoh bagaimana kekerasan verbal, meskipun bermula dari candaan, dapat berdampak besar pada korban. Banyak orang merasa bahwa perundungan tidak hanya merendahkan martabat tetapi juga bisa berdampak pada pembunuhan karakter (character killing).
Namun, yang menarik adalah bagaimana masyarakat secara spontan memberikan simpati dan dukungan. Bahkan beberapa perusahaan turut memberikan fasilitas tambahan untuk korban, termasuk dukungan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan berbagai fasilitas lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa di tengah perundungan, solidaritas masyarakat yang terbentuk dapat melahirkan tindakan filantropi yang luar biasa.
Dari sudut pandang sosial, perundungan adalah sebuah bentuk kekerasan yang bertujuan untuk merendahkan martabat orang lain. Dalam sejumlah kasus, komentar sarkastik yang dilontarkan kepada seseorang atau profesi tertentu melalui media sosial bisa mengarah pada perundungan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi masyarakat yang memberikan dukungan kepada korban menunjukkan bahwa mereka merasa perundungan terhadap siapapun adalah suatu bentuk ketidakadilan yang harus dibela.
Pendekatan Fenomenologi: Menyelami Pengalaman Subjektif Korban
Pendekatan fenomenologi, yang pertama kali dikembangkan oleh filsuf Edmund Husserl, memberikan pandangan menarik dalam melihat perundungan ini. Fenomenologi berfokus pada pengalaman subjektif individu dalam merasakan dan memberi makna terhadap peristiwa yang dialami.
Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana penjual es teh, Agus, Novi, serta kasus sejenis yang menjadi korban perundungan, mengalami fenomena unik, yakni perubahan pembelaan publik terhadap korban. Dari perspektif fenomenologi, mungkin ada makna yang lebih dalam yang didapatkan oleh korban. Setelah mendapatkan dukungan yang begitu besar dari masyarakat, para korban perundungan justru berbalik arah meraih simpati dan merasa dihargai serta dihormati, yang sebelumnya mungkin tidak mereka peroleh.
Dari sisi masyarakat yang memberikan dukungan, fenomenologi ini menunjukkan bagaimana mereka merasa empati terhadap korban dan merasakan ketidakadilan yang terjadi. Solidaritas yang muncul ini bukan hanya sebagai reaksi emosional terhadap perundungan, tetapi juga merupakan manifestasi dari nilai-nilai kemanusiaan yang lebih universal. Masyarakat merasa bahwa mereka memiliki kewajiban untuk saling mendukung satu sama lain, terutama ketika ada ketidakadilan yang terjadi.
Filantropi dalam Pandangan Teologis
Filantropi, dalam konteks teologis, adalah tindakan memberi yang membawa berkah. Dalam Islam, memberi dalam bentuk apapun – baik berupa uang, perhatian, atau dukungan moral – dianggap sebagai amal baik yang mendatangkan kebaikan. Tindakan masyarakat yang memberikan dukungan kepada pihak manapun yang bermanfaat baginya adalah bentuk filantropi yang penuh makna.
Meskipun para korban perundungan tidak meminta bantuan secara langsung, dukungan yang diberikan oleh masyarakat adalah bentuk solidaritas yang membawa berkah bagi korban dan masyarakat secara keseluruhan. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad). Hadis ini mengajarkan kita bahwa memberikan manfaat kepada orang lain adalah indikator kebaikan seseorang.
Di sisi lain, Allah SWT jelas melarang aksi saling hujat, menjelekkan, apalagi perundungan terhadap orang atau kelompok lain, karena bisa saja korban justru memiliki derajat yang lebih tinggi. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 11, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).”
Fenomena Perundungan yang Dapat Dimanfaatkan (Play Victim)
Di balik rasa simpati dan empati yang diraih para korban bullying, ada sisi menarik yang perlu dicermati dalam fenomena ini. Jika tren filantropi yang muncul akibat perundungan ini terus berkembang, bukan tidak mungkin beberapa individu akan sengaja menjadi korban perundungan untuk memperoleh simpati publik. Hal ini diungkap oleh sejumlah figur publik dalam sebuah dialog televisi nasional. Felix Siau dan Sujewo Tedjo sepakat bahwa aksi yang sengaja “play victim” adalah upaya melemahkan mental diri; mereka sengaja mencari simpati dengan cara yang remeh. “Sebagian aksi mereka ini seolah-olah disengaja, bukan alami, tetapi untuk meraih perhatian publik,” ujar Sujewo Tedjo, yang dikenal sebagai seniman.
Di era yang semakin terbuka ini, ada kemungkinan beberapa oknum dari kelompok tertentu memanfaatkan perundungan untuk mengumpulkan donasi atau perhatian publik, dengan cara sengaja membuat sebuah aksi menjadi korban bullying melalui desain tertentu (play victim), dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan material dan moral dari publik. Hal ini tentu saja bisa menimbulkan perdebatan tentang keaslian simpati publik yang diberikan dan perlu diwaspadai agar fenomena ini tidak disalahgunakan dalam konteks pragmatis. Dengan demikian, kita harus berhati-hati agar tidak melahirkan generasi ‘instan’.
Fenomena perundungan yang berujung pada aksi filantropi ini mengajarkan kita tentang kekuatan solidaritas sosial. Meskipun perundungan adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan, kita dapat melihat bagaimana masyarakat memiliki kemampuan untuk mengubah ketidakadilan menjadi sebuah gerakan sosial yang besar dan positif. Dari kasus ini, kita belajar bahwa setiap profesi, apapun itu, harus dihargai dan dihormati, karena setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan bermartabat.
Melalui filantropi, kita dapat menciptakan kebaikan yang tidak hanya dirasakan oleh penerima bantuan, tetapi juga oleh mereka yang memberi. Sebagai bagian dari masyarakat, kita semua memiliki tanggung jawab untuk saling mendukung dan memberi manfaat bagi sesama. Dengan demikian, berkah filantropi tidak hanya dinikmati oleh mereka yang menerima, tetapi juga oleh mereka yang memberikan, menciptakan sebuah siklus kebaikan yang terus berputar. Wallohul musta’aan.
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Islam Konsentrasi Filantropi)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News