Perintah supaya Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam menjadi landasan teologis bagi Muhammadiyah dalam memberikan pelayanan tanpa memandang latar belakang agama. Landasan ini menjadi dasar Muhammadiyah dalam berbagai aktivitasnya, termasuk pelayanan pendidikan di wilayah mayoritas non-muslim, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, Papua, Sulawesi Utara, dan lainnya.
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agung Danarto, pada Kamis (12/12) dalam kultum bakda Salat Zuhur di Masjid AR Fachruddin, Yogyakarta, menyampaikan bahwa relasi baik antara Kristen dengan Muhammadiyah melahirkan istilah sosiologis bernama Krismuha.
Istilah ini merupakan akronim dari “Kristen – Muhammadiyah”, hasil penelitian Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq di institusi pendidikan Muhammadiyah yang memiliki siswa dan guru non-muslim.
“Kristen Muhammadiyah ini adalah istilah sosiologis, bukan teologis. Artinya, tidak ada perpaduan atau sinkretisme agama antara Kristen dan Muhammadiyah,” kata Agung.
Krismuha menggambarkan hubungan erat dan simpati dari kelompok non-muslim kepada Muhammadiyah, khususnya atas pelayanan di bidang pendidikan.
Pola inklusif Muhammadiyah yang mengutamakan kebermanfaatan bagi semua menjadikan organisasi ini diterima luas di wilayah mayoritas non-muslim.
Dalam penjelasannya, Agung menyoroti pentingnya memahami relasi lintas agama dengan pandangan yang luas dan inklusif.
Ia mengkritik pendekatan tekstual terhadap nash-nash Al-Qur’an, seperti Surat Al-Baqarah ayat 120, yang sering memicu salah tafsir dan memperlebar jarak antaragama.
Menurutnya, memahami ayat tersebut dalam konteks asbabun nuzul (sebab turunnya) menunjukkan bahwa perintah tersebut bersifat khusus bagi Nabi Muhammad saw, bukan untuk seluruh muslim sepanjang masa. Tafsir tekstual semata dapat memicu prasangka dan kecurigaan terhadap non-muslim.
Bukti Nyata di Kupang
Pada 4-6 Desember 2024, Muhammadiyah menyelenggarakan Tanwir I periode Muktamar ke-48 di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK), yang terletak di daerah mayoritas Kristen (88,97%). Sebagai PTS milik Muhammadiyah, UMK memiliki lebih dari 80% mahasiswa non-muslim.
Mahasiswa non-muslim UMK turut menyukseskan Tanwir dengan menjadi sukarelawan dalam berbagai kegiatan, mulai dari menjaga keamanan bersama KOKAM, menyediakan konsumsi, hingga menjadi petugas kebersihan.
Hal ini menunjukkan harmoni yang terjalin antara Muhammadiyah dan komunitas non-muslim di Kupang.
“Toleransi dan hubungan yang baik ini menjadi fondasi penting untuk menciptakan Islam sebagai rahmatan lil alamin,” ujar Agung.
Kesuksesan Tanwir di Kupang menjadi bukti bahwa harmoni lintas agama dapat tercipta jika ada saling pengertian dan sikap inklusif.
Agung menekankan bahwa toleransi yang diterapkan Muhammadiyah tidak boleh mengganggu akidah umat, sebagaimana pesan dalam Surat Al-Kafirun.
Ia juga mengingatkan bahwa perbedaan agama tidak seharusnya menjadi alasan perpecahan. Sebaliknya, Muhammadiyah terus berperan aktif dalam membangun persatuan di atas keragaman.
Melalui pendekatan seperti Krismuha, Muhammadiyah memberikan contoh nyata bagaimana agama dapat menjadi jembatan harmoni, bukan sekadar dinding pembatas.
Toleransi lintas iman seperti ini menjadi harapan bagi Indonesia untuk terus menjaga keutuhan bangsa di tengah keberagaman. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News