Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir, menekankan bahwa para mufasir Muhammadiyah harus mampu menjadi sosok Ulul Albab dalam merumuskan tafsir dan keputusan-keputusan keagamaan.
Pernyataan ini disampaikan Haedar dalam sambutannya pada Konferensi Mufasir Muhammadiyah II yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta, Jumat (13/12/2024).
Haedar mengungkapkan bahwa kehidupan bangsa Indonesia yang penuh dengan keragaman agama, suku, ras, golongan, serta dinamika perubahan memerlukan panduan yang tepat untuk memajukan negara.
“Kehidupan bangsa Indonesia dalam keragaman agama, suku, ras, golongan, dinamika perubahan yang datang dari berbagai jurusan, serta situasi dan lokalitas di mana bangsa Indonesia lahir, tumbuh, dan berkembang di bumi Indonesia yang kaya raya, yang mesti dikelola sumber daya alamnya untuk kemakmuran sebagaimana fungsi kekhalifahan,” ujar Haedar.
Dalam konteks ini, Haedar berharap Tafsir At-Tanwir dapat menjadi suluh dan rujukan dalam memajukan Indonesia.
Ia mencatat bahwa meskipun Muhammadiyah dan komponen bangsa lainnya, termasuk pemerintah, telah melakukan banyak upaya besar, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan.
“Jujur, kita masih tertinggal dalam sejumlah aspek. Meskipun kita telah bekerja keras, baik Muhammadiyah maupun komponen bangsa yang lainnya, termasuk pemerintah, untuk memajukan Indonesia. Tapi kita masih banyak problem, masih banyak masalah, dan sekaligus tantangan yang harus dihadapi,” ujarnya.
Melalui Tafsir At-Tanwir, Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah harus mampu memberikan panduan yang jelas bagi umat Islam dan bangsa Indonesia untuk memajukan negara sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
“Muhammadiyah mampu membimbing, memandu, dan memberi referensi bagi umat Islam dan bangsa Indonesia bagaimana memajukan Indonesia sejalan dengan Pancasila, yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab,” tambahnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran Tafsir At-Tanwir dalam menghadapi berbagai masalah bangsa, seperti korupsi dan pengelolaan sumber daya alam.
“Dengan Tafsir At-Tanwir, kita tidak hanya bernahyu-munkar, tetapi juga beramar-ma’ruf, memberi konstruksi terhadap masa depan Indonesia. Bahkan memberi alternatif bagi pemikiran, konsep, bahkan jalan strategi bagi bangsa kita,” ungkap Haedar.
Sebagai gerakan dakwah dan tajdid, Muhammadiyah harus berada di garda depan untuk membawa perubahan. Haedar menekankan pentingnya Tafsir At-Tanwir dalam memandu langkah tersebut.
“Muhammadiyah harus berada di garda depan sebagai kekuatan pembaharu dan kekuatan dakwah dengan segala role model-nya yang bisa dihadirkan,” ujarnya.
Dalam merumuskan tafsir dan keputusan-keputusan keagamaan, Haedar mengingatkan para ulama dan mufasir Muhammadiyah untuk tetap jernih dan menjadi sosok Ulul Albab — individu yang memiliki pemahaman mendalam, mampu menyerap berbagai pandangan, dan mengambil yang terbaik.
Haedar merujuk pada QS. Az-Zumar: 18, yang menyebutkan sifat Ulul Albab sebagai: allażīna yastami’ūnal-qaula fa yattabi’ūna aḥsanah (mereka yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang terbaik).
“Jangan sampai kita merumuskan tafsir, merumuskan keputusan fatwa, dan lain sebagainya, terpengaruh oleh situasi yang membuat hasilnya tidak memberikan pencerahan,” pesan Haedar.
Ia mengajak para mufasir untuk memberikan alternatif pemikiran yang dapat menjadi suluh dan pencerahan bagi umat, serta menghindari pemikiran yang sempit atau terperangkap oleh situasi yang tidak konstruktif.
Pesan Haedar ini menegaskan bahwa peran tafsir dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan sangatlah penting.
Dengan sikap Ulul Albab, para mufasir Muhammadiyah diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam menciptakan peradaban yang lebih baik untuk Indonesia dan dunia. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News