Apa beda kepemimpinan di Muhammadiyah dengan di Pemerintah? Pertanyaan ini seolah sederhana namun penting untuk dicermati.
Untuk level Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) di sebuah kota/kabupaten mungkin selevel dengan wali kota maupun bupati. Yang membedakan dari kedua jabatan ini adalah tunggangan dan tunjangannya.
Selain itu, yang membedakan antara ketua PDM dengan wali kota/bupati adalah sistem kepemimpinan.
Di Muhammadiyah yang berlaku adalah sistem kolektif kolegial. Artinya, kepemimpinan terletak pada sistem bukan sinten atau siapa ‘tokoh’.
Kelebihan dari sistem ini, sebuah organisasi tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya meski pimpinan atau ketuanya tidak ada di tempat.
Saya bisa mencontohkan Pada 2017, ketika saya, Prof Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Siti Noordjannah Djohantini (Ketua Umum PP Aisyiyah), dan almarhum Suyatno (Bendahara Umum PP Muhammadiyah) berangkat haji bersamaan.
Kala itu, roda kepengurusan PP Muhammadiyah dan Aisyiyah masih bisa berputar sebagaimana mestinya. Tidak ada ketakutan akan kudeta terhadap kepemimpinan di Muhammadiyah.
Tetap aman-aman saja. Walau pun ketua umum haji, sekretaris umum haji, bendahara umum haji organisasi tetap berjalan.
Organisasi masih tetap bisa dikelola sebagaimana mestinya. Karena kita mengembangkan sistem kepemimpinan kolektif kolegial.
Termasuk ketika terjadi pengambilan keputusan, jabatan ketua umum, sekretaris umum dan bendahara umum harus mengikuti keputusan bersama yang ditentukan oleh kuorum dalam permusyawaratan atau rapat.
Pada posisi tersebut, pimpinan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai yang ‘paling’ dibandingkan lainnya. Sebab, pimpinan atau ketua harus bisa menjadi makmum atau followers.
Sehingga saat ini followership itulah yang saat ini agak sulit, terutama dalam kehidupan kebangsaan kita ini.
Orang itu lebih siap tampil menjadi yang terdepan, tetapi tidak siap tampil untuk dipimpin oleh yang lainnya itu.
Dan inilah yang saya rasa menjadi tantangan dalam kepemimpinan nasional kita sekarang ini.
Kenyataan kepemimpinan dalam konteks kebangsaan memiliki perbedaan dengan kondisi atau realitas kepemimpinan yang ada di Muhammadiyah.
Pasalnya, di Muhammadiyah orangnya lebih tidak bersedia mengajukan diri sebagai pimpinan atau ketua. Bahkan saling mendorong yang lain untuk menjadi ketua.
Dalam konteks kepemimpinan nasional, seseorang harus bisa menempatkan diri untuk siap dipimpin, bukan hanya mau memimpin. (*)
(Disampaikan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Abdul Mu’ti dalam acara Pengukuhan PDM, PDA dan IMM Cabang Blitar, 3 Juni 2023)