Buku Gerakan Islam Berkemajuan karya Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, dibedah dalam acara yang digelar di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Jumat (20/12/2024).
Acara ini menghadirkan pembicara terkemuka, yakni Prof. Bambang Setiadji (Ketua Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan PP Muhammadiyah), Prof. Syamsul Arifin (Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang), dan Assoc. Prof. Muhammad Qorib (Dekan Fakultas Agama Islam UMSU).
Dalam sambutannya, Haedar Nashir menjelaskan bahwa buku ini merupakan karya yang ia tulis secara serius, mengusung pendekatan akademik yang mendalam.
“Buku ini saya tulis serius, dari bab pendahuluan sampai penutupan, dengan konstruksi pemikiran seperti disertasi,” ujar Haedar.
Haedar juga mengungkapkan rencananya untuk menulis sebuah buku baru sebelum tahun 2027, yang akan diluncurkan pada Muktamar Muhammadiyah ke-49 di Medan.
“Saya ingin buku tersebut menjadi kontribusi yang strategis bagi Muhammadiyah dalam menghadapi era baru,” tambahnya.
Acara ini juga dihadiri Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Fajar Riza Ul Haq, yang memberikan apresiasi terhadap kepemimpinan dan pemikiran Haedar Nashir.
“Menurut saya, Haedar Nashir adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah yang berhasil mendinamisasi organisasi melalui pemikirannya. Buku ini mencerminkan evolusi panjang pemikiran beliau,” ujar Fajar.
Fajar juga menegaskan pentingnya buku ini sebagai bahan bacaan bagi kalangan luas.
“Tidak hanya untuk kaum intelektual Muhammadiyah, tetapi juga bagi Indonesianis yang ingin memahami kajian keislaman dan keindonesiaan,” katanya.
Rektor UMSU Prof. Agussani, menyampaikan rasa terima kasih atas kehadiran para tokoh dalam acara ini.
Ia juga menyoroti prestasi UMSU dalam bidang literasi, termasuk keberhasilan perpustakaan kampus yang mencatat lebih dari 1.000 pengunjung setiap hari.
“UMSU juga tercatat sebagai penerbitan paling produktif menurut Perpustakaan Nasional,” ungkapnya.
Dalam diskusi, Bambang Setiadji mengungkapkan dua kegelisahan utama yang menjadi fokus Haedar Nashir dalam buku ini.
Pertama, terkait potensi ekonomi Muhammadiyah yang besar namun belum terkonsolidasi secara maksimal.
“Meski Muhammadiyah memiliki aset triliunan rupiah, kekayaan itu tersebar di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dan umat, bukan terpusat di PP,” jelas Bambang.
Ia juga menyoroti peran kader Muhammadiyah yang berdiaspora di berbagai sektor ekonomi, baik di korporasi besar maupun kecil.
“Sumbangsih Muhammadiyah di bidang ekonomi sangat besar. Jika kita hanya melihat yang dikelola langsung oleh Muhammadiyah, mungkin hanya satu persen. Tetapi, melalui kadernya, kontribusi itu bisa seratus kali lipat,” paparnya.
Kegelisahan kedua adalah terkait jumlah warga Muhammadiyah yang dianggap minoritas berdasarkan survei.
Namun, Bambang menilai data itu perlu dianalisis lebih lanjut. Ia mengacu pada pandangan Clifford Geertz yang menyebut bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan modern lebih banyak diikuti oleh masyarakat non-petani.
“Kelompok masyarakat petani, yang jumlahnya kini semakin kecil, cenderung berafiliasi dengan gerakan Islam tradisional. Seiring waktu, dengan berkurangnya masyarakat petani, Muhammadiyah berpotensi menjadi mayoritas di era modern,” ujar Bambang.
Mengutip Buya Syafii Maarif, Bambang menegaskan bahwa Muhammadiyah harus menjadi organisasi inklusif.
“Muhammadiyah adalah tenda besar. Artinya, harus inklusif dan tidak eksklusif. Organisasi ini dituntut untuk mampu bekerja sama dengan berbagai pihak tanpa kehilangan identitasnya,” katanya.
Bedah buku Gerakan Islam Berkemajuan ini menegaskan posisi Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan.
Buku ini diharapkan menjadi panduan strategis bagi pengembangan Muhammadiyah di masa depan, sekaligus memperkuat perannya sebagai gerakan Islam yang inklusif dan relevan dengan tantangan zaman. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News