Frustrasi dan Kekerasan di Perguruan Tinggi, Begini Analisis Pakar Psikologi Umsida
Eko Hardi Ansyah. foto: umsida
UM Surabaya

Akhir-akhir ini, dunia pendidikan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan serius dengan meningkatnya kasus kekerasan yang melibatkan mahasiswa.

Kasus-kasus tragis, seperti kekerasan fisik, pelecehan seksual, pembunuhan, hingga bunuh diri, mengguncang berbagai perguruan tinggi.

Dr. Eko Hardi Ansyah, MPsi, Psikolog, seorang pakar psikologi dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), memberikan penjelasan mengenai akar permasalahan ini dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk menanggulangi kekerasan di kampus.

Menurut Dr. Eko, fenomena kekerasan ini sering kali dipicu oleh rasa frustrasi yang mendalam pada individu.

“Kejadian-kejadian ini bertentangan dengan cita-cita perguruan tinggi untuk mencetak manusia beradab dan menciptakan peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan,” katanya, Selasa (31/12/2024).

Eko mengungkapkan bahwa masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa, yang sering kali tidak mendapat perhatian yang cukup, menjadi faktor penting dalam peningkatan kasus kekerasan.

Ia menyatakan, saat ini, persoalan kesehatan mental perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama pada anak-anak muda.

Salah satu fenomena yang diidentifikasi oleh Eko adalah munculnya istilah “generasi strawberry” dan “generasi sandwich”, yang merujuk pada generasi yang lahir antara tahun 2000 hingga 2010 yang cenderung rapuh secara emosional meskipun terlihat tangguh di luar.

“Generasi ini lebih rentan terhadap masalah emosional karena adanya tekanan dari lingkungan, baik keluarga maupun sosial. Kerapuhan ini bisa menjadi pemicu kekerasan atau tindakan amoral,” beber Eko.

Dalam hal ini, Eko menekankan pentingnya melihat masalah kekerasan secara komprehensif, karena perilaku kekerasan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui proses belajar yang panjang.

Menurut dia, dalam memahami perilaku kekerasan, dapat digunakan teori Choice Theory. Dalam teori ini, ia menjelaskan bahwa perilaku kekerasan melalui beberapa tahap.

“Tahap pertama adalah ketika informasi diterima oleh panca indra. Informasi tersebut kemudian disaring melalui filter pengetahuan, dan diteruskan ke filter nilai seseorang,” paparnya.

Jika informasi yang diterima bertentangan dengan kebutuhan dasar individu, seperti kebutuhan untuk bebas, mencintai, atau dihargai, hal ini dapat menimbulkan frustrasi.

“Frustrasi ini akhirnya mendorong individu untuk melakukan perilaku yang lebih destruktif,” jelasnya.

Eko menjelaskan lebih lanjut mengenai lima kebutuhan dasar manusia yang dapat mempengaruhi perilaku, yaitu kebutuhan untuk hidup, kasih sayang, kebebasan, kekuasaan, dan kesenangan.

“Ketika kenyataan yang dihadapi seseorang tidak sesuai dengan kebutuhan dasar tersebut, frustrasi akan muncul, yang akhirnya berujung pada perilaku negatif,” tandasnya.

Salah satu contoh nyata yang dijelaskan Eko adalah kasus pembunuhan seorang mahasiswi di Bangkalan.

“Kemungkinan besar, pelaku merasa frustrasi karena kebutuhan untuk bebas tidak tercapai, meskipun dia berafiliasi dengan agama. Pelaku lebih memilih untuk menyakiti korban daripada memilih perilaku yang lebih baik, karena dia merasa kebutuhannya tidak terpenuhi,” ujarnya.

Untuk mengatasi permasalahan ini, Eko mengusulkan tiga solusi utama yang dapat diterapkan di lingkungan perguruan tinggi. Pertama, menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang.

“Kasih sayang di kampus bukan berarti lingkungan tanpa tantangan, tapi bagaimana cara tantangan tersebut disampaikan dengan cara yang mendukung dan menghargai mahasiswa,” jelasnya.

Kedua, mahasiswa perlu memiliki pemikiran yang terbuka. Dengan cara ini, mereka dapat memilih perilaku yang lebih beradab ketika menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.

“Mahasiswa yang memiliki pola pikir terbuka akan lebih cenderung untuk memilih perilaku yang positif dan mendukung,” tambahnya.

Ketiga, kampus harus menciptakan kebijakan yang mendukung terciptanya lingkungan yang kondusif untuk perkembangan pola pikir yang terbuka.

“Kampus sebagai lembaga pendidikan harus menjadi tempat yang mendukung pengembangan pola pikir terbuka yang dapat meminimalisir frustrasi dan meningkatkan kesejahteraan mental mahasiswa,” tegas Eko.

Eko menutup penjelasannya dengan mengingatkan bahwa langkah-langkah ini harus diterapkan secara terintegrasi untuk membangun sikap dan perilaku beradab di kalangan mahasiswa.

“Perguruan tinggi bukan hanya mencetak individu yang produktif, tetapi juga agen-agen perubahan yang berperadaban dan mampu mengatasi masalah sosial dengan cara yang konstruktif,” ujarnya.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan berbasis pada kasih sayang, pemikiran terbuka, serta kebijakan yang mendukung, perguruan tinggi dapat melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki integritas dan karakter yang kuat, bebas dari kekerasan dan perilaku destruktif. (romadhona s)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini