Pakar Pendidikan UM Surabaya Respons Wacana Libur Sekolah Selama Ramadan 2025
Achmad Hidayatullah. foto: dok/pri
UM Surabaya

Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi’i mengungkapkan kemungkinan bahwa sekolah akan diliburkan sepanjang bulan puasa pada Ramadan 2025.

Menanggapi wacana tersebut, Achmad Hidayatullah Ph.D, pakar pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan terkait libur sekolah.

Dayat mempertanyakan apakah kebijakan libur selama Ramadan ini didasarkan pada dasar epistemologis yang kuat dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.

“Jika kebijakan ini didasarkan pada anggapan bahwa fokus, produktivitas, dan motivasi siswa akan menurun selama bulan puasa, maka kebijakan ini tidak memiliki dasar epistemologis yang kuat,” ujar Dayat, pada Selasa (31/12/24).

Menurut Dayat, pemerintah seolah-olah meyakini adanya pemisahan antara ibadah dan pendidikan, dengan pandangan bahwa bulan puasa adalah waktu untuk beribadah, sementara pendidikan dianggap tidak mendukung kegiatan ibadah selama Ramadan.

Padahal, Dayat menilai bahwa pendidikan justru dapat mengintegrasikan keduanya. Aktivitas pendidikan dapat mendorong siswa untuk beribadah, sesuai dengan profil pelajar Pancasila yang mencakup nilai-nilai agama.

Bahkan program baru dari Mendikdasmen tentang tujuh kebiasaan anak hebat juga mencakup aspek ibadah.

“Pemerintah tidak perlu memisahkan antara ibadah dan pendidikan. Ramadan bukanlah waktu untuk belajar agama saja, dan sekolah tidak perlu diliburkan. Justru penguatan nilai keagamaan tanpa libur sekolah akan lebih bermanfaat,” tambah Dayat.

Lebih lanjut, Dayat menegaskan bahwa tidak ada cukup bukti rasional dan empiris yang mendukung anggapan bahwa motivasi dan fokus siswa dalam belajar agama akan menurun selama Ramadan.

Kebijakan apa pun seharusnya didasarkan pada rasio dan bukti empiris yang kuat.

“Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa libur sekolah atau tidak selama Ramadan akan menurunkan motivasi dan fokus siswa dalam belajar agama,” tegasnya.

Dayat mengacu pada teori kognitif sosial dari Bandura, yang menyatakan bahwa lingkungan seperti sekolah dan guru berperan penting dalam membentuk perilaku dan kemampuan siswa.

Dengan libur penuh selama bulan puasa, lingkungan pendidikan akan menjadi pasif dan tidak lagi berfungsi sebagai stimulasi untuk membentuk perilaku dan kemampuan siswa.

Bahkan, kebijakan tersebut bisa melemahkan rasa percaya diri siswa dalam mengatasi tantangan fisik, seperti rasa lapar dan haus, saat belajar selama Ramadan.

“Yang perlu dipertimbangkan adalah kemungkinan siswa lebih banyak bermain ponsel selama libur, yang bisa menimbulkan kecemasan dan perasaan kesepian,” katanya.

Dayat juga menyarankan bahwa kebijakan libur yang pernah diterapkan di masa Presiden Gus Dur tidak dapat dijadikan acuan karena zaman kini sudah berbeda dengan adanya teknologi digital.

“Dengan tetap bersekolah, siswa akan lebih terarah dalam belajar dan beribadah, dibandingkan jika mereka libur dan menghabiskan waktu dengan aktivitas yang tidak produktif, seperti terperangkap dalam dunia digital,” tutupnya. (uswah sahal)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini