Demikianlah makna lahiriah ayat, tetapi Qatadah menduga bahwa ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
{يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ}
Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. (Al-Hajj: 61)
Ibnu Jarir menilai bahwa pendapat Qatadah ini lemah dalam kasus ayat ini. Lalu Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya makna ilaj itu ialah mengambil dari salah satunya, lalu diberikan kepada yang lainnya, sedangkan pengertian ini bukanlah makna yang dimaksud dalam ayat ini. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini benar.
Firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala).:
{وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}
dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Yasin: 38)
Sehubungan dengan makna kalimat ‘limustaqarril laha’, ada dua pendapat.
Pendapat pertama, mengatakan bahwa makna yang dimaksud mustaqarril laha ialah tempat menetapnya matahari, yaitu di bawah ‘Arasy yang letaknya berhadapan dengan letak bumi bila dilihat dari arah ‘Arasy. Dengan kata lain, di mana pun matahari berada, ia tetap berada di bawah ‘Arasy; demikian pula semua makhluk lainnya, mengingat ‘Arasy merupakan atap bagi kesemuanya. Bentuk ‘Arasy itu bukan bulat, tidak seperti yang disangka oleh para ahli ilmu ukur dan bentuk. Sesungguhnya ia berbentuk seperti kubah yang mempunyai tiang-tiang, dipikul oleh para malaikat; letak ‘Arasy berada di atas semesta alam, yakni berada di atas semua manusia. Matahari itu apabila berada di tengah kubah falak di waktu lohor, maka saat itulah mentari berada paling dekat dengan ‘Arasy. Dan apabila berputar di garis edarnya hingga letaknya berlawanan dengan kedudukan tersebut, yaitu bila berada di tengah malam, maka mentari berada di tempat yang paling jauh dengan ‘Arasy. Pada saat itulah mentari bersujud dan meminta izin untuk terbit lagi, sebagaimana yang disebutkan di dalam banyak hadis.
قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْم، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ [التَّيْمِيِّ] ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ عِنْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ، فَقَالَ: “يَا أَبَا ذَرٍّ، أَتَدْرِي أَيْنَ تغربُ الشَّمْسُ؟ ” قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: “فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَذَلِكَ قَوْلُهُ: {وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ} .
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Zar r.a. yang mengatakan bahwa ketika ia sedang bersama Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) di dalam masjid bertepatan dengan waktu tenggelamnya mentari, maka Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) bertanya, “Hai Abu Zar, tahukah kamu ke manakah mentari itu terbenam?” Abu Zar menjawab.”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda: Sesungguhnya mentari itu pergi hingga sujud di bawah ‘Arasy. Yang demikian itu dijelaskan oleh firman-Nya, “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ الحُميديّ، حَدَّثَنَا وَكِيع عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: سَأَلَتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِهِ: {وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا} ، قَالَ: “مُسْتَقَرُّهَا تَحْتَ الْعَرْشِ”.
Telah menceritakan pula kepada kami Abdullah ibnuz Zubair Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy dari Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dan Abu Zar r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) tentang makna firman-Nya: dan matahari berjalan di tempat peredarannya. (Yasin: 38) Maka beliau bersabda: Tempat menetapnya matahari itu di bawah ‘Arasy.