*) Oleh: Sigit Subiantoro
Anggota Majelis Tabligh PDM Kabupaten Kediri
Di satu desa hiduplah seorang ibu penjual tempe. Tak ada pekerjaan lain yang dapat dia lalukan sebagai penyambung hidup.
Meski demikian, nyaris tak pernah lahir keluhan dari bibirnya. Ia jalani hidup dengan riang.
“Jika tempe ini yang nanti mengantarkanku ke surga, kenapa aku harus menyesalinya…?”,
demikian dia selalu memaknai hidupnya.
Suatu pagi dia berkemas, mengambil keranjang bambu tempat tempe, dia
berjalan ke dapur. Diambilnya tempe-tempe yang dia letakkan di atas meja panjang.
Tapi…, deg! dadanya bergemuruh.Tempe yang akan dijual, ternyata belum jadi. Masih berupa kacang kedelai, sebagian memecah, belum disatukan ikatan-ikatan putih kapas dari peragian.
Tempe itu masih harus menunggu 1 hari lagi untuk jadi. Tubuhnya lemas. Dia bayangkan, hari ini pasti dia tidak akan mendapatkan uang untuk makan dan modal untuk membeli kacang kedelai lagi.
Di tengah putus asa, tebersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah, pasti tak akan ada yang mustahil.
Maka, ditengadahkan kepala, dia angkat tangan, dia berdoa, “YA ALLAH, ENGKAU TAHU KESULITANKU. AKU TAHU ENGKAU PASTI MENYAYANGI HAMBA-MU YANG HINA INI.
BANTULAH AKU YA ALLAH, JADIKANLAH KEDELAI INI MENJADI TEMPE. HANYA KEPADA-MU KUSERAHKAN
NASIBKU…”.
Dalam hati.., dia yakin Allah akan mengabulkan doanya.
Dengan tenang, dia tekan dan mampatkan daun pembungkus tempe. Dia rasakan hangat yang menjalari daun itu. Proses peragian memang masih berlangsung.
Dadanya bergemuruh… dan pelan, dibukanya daun pembungkus tempe. Dan… dia kecewa. Tempe itu belum juga berubah, belum menyatu oleh kapas-kapas ragi putih. Tapi dengan senyum terpaksa dia berdiri.
Dia yakin.., Allah pasti sedang “memproses” doanya. Tempe itu pasti akan jadi. Dia yakin…, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya yang setia beribadah. Sambil meletakkan semua tempe setengah jadi itu ke dalam keranjang, dia berdoa lagi.. “Ya Allah, aku tahu tak pernah ada yang mustahil bagi-Mu. Engkau Maha Tahu, bahwa tak ada yang bisa aku lakukan selain berjualan tempe. Karena itu ya Allah, jadikanlah…! Bantulah aku, kabulkan doaku…”.
Sebelum mengunci pintu dan berjalan menuju pasar, dia buka lagi daun pembungkus tempe. Pasti telah jadi sekarang, batinnya. Dengan berdebar, dia intip dari daun itu, dan… belum jadi. Kacang kedelai itu belum sepenuhnya memutih. Tak ada perubahan apa pun atas ragian kacang kedelai tersebut. “Keajaiban Tuhan akan datang… pasti..!”, yakinnya.
Dia pun berjalan ke pasar. Di sepanjang perjalanan itu, dia yakin “tangan” Tuhan tengah bekerja untuk mematangkan proses peragian atas tempe-tempenya. Berulang dia melangitkan doa berharap Allah mengabulkan doanya. Sampai di pasar, di tempat dia biasa berjualan, dia letakkan keranjang-keranjang itu.
“Pasti sekarang telah jadi tempe..”, batinnya. Dengan berdebar, dia buka daun pembungkus tempe itu, pelan-pelan dan dia terlonjak. Tempe itu masih tak ada perubahan. Masih sama seperti ketika pertama kali dia buka di dapur tadi.
Air mata pun menitiki keriput pipinya. Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi? Apakah Tuhan ingin aku menderita? Apa salahku? Demikian batinnya berkecamuk.
Dengan lemas, dia gelar tempe setengah jadi itu di atas plastik yang telah dia sediakan. Tangannya lemas, tak ada keyakinan akan ada yang mau membeli tempenya itu. Tiba-tiba dia merasa sendirian. “Tuhan telah meninggalkan aku..”, batinnya.
Air matanya kian menitik. Terbayang esok dia tak dapat berjualan lagi. Esok dia pun tak akan dapat makan. Dilihatnya kesibukan pasar, orang yang lalu lalang, dan teman-teman sesama penjual tempe di sisi kanan dagangannya yang mulai berkemas. Dianggukinya mereka yang pamit karena tempenya telah laku terjual. Kesedihannya mulai memuncak. Diingatnya, tak pernah dia mengalami kejadian ini. Tak pernah tempenya tak jadi. Tangisnya kian keras. Dia merasa cobaan itu terasa berat.
Di tengah kesedihan itu, sebuah tepukan menyinggahi pundaknya. Dia memalingkan wajah, seorang perempuan cantik, paruh baya, tengah tersenyum memandangnya. “Maaf Ibu, apa Ibu punya tempe yang setengah jadi? Capek saya sejak pagi mencari-cari di pasar ini, tak ada yang menjualnya. Ibu punya?”
Penjual tempe itu terpana, terkesima. Tiba-tiba wajahnya pucat. Tanpa menjawab pertanyaan si ibu cantik tadi, dia cepat menadahkan tangan. “Ya Allah, saat ini aku tidak ingin tempe itu jadi. Jangan engkau kabulkan doaku yang tadi. Biarkan sajalah tempe itu seperti tadi, jangan jadikan tempe.” Lalu segera dia mengambil tempenya. Tapi, setengah ragu, dia letakkan lagi. “jangan-jangan, sekarang sudah jadi tempe?”
“Bagaimana Bu? Apa Ibu menjual tempe setengah jadi?”, tanya perempuan itu lagi.
Kepanikan melandanya lagi. “Duh Gusti… bagaimana ini? Tolonglah ya Allah, jangan jadikan tempe ya?”, ucapnya berkali-kali. Dengan gemetar, dia buka perlahan-lahan daun pembungkus tempe itu. Lalu apa yang dia lihat, sahabat? Di balik daun yang hangat itu, dia lihat tempe yang masih sama. Belum jadi..! “Alhamdulillah.. pekiknya, tanpa sadar. Segera dia angsurkan tempe itu kepada si pembeli.
Sembari membungkus, dia pun bertanya kepada si ibu cantik itu. “Kok Ibu aneh ya, mencari tempe kok yang belum jadi?”
“Oohh…, bukan begitu, Bu. Anak saya yang kuliah S2 di Seoul ingin sekali makan tempe, asli buatan sini. Nah, agar bisa sampai sana belum busuk, saya pun mencari tempe yang belum jadi. Jadi, saat saya bawa besok, sampai sana masih layak dimakan. Oh ya, jadi semuanya berapa, Bu?”.
Sahabat semua, dalam kehidupan sehari-hari, kita acap berdoa, dan “memaksakan” Allah memberikan apa yang menurut kita paling cocok untuk kita. Dan jika doa kita tidak dikabulkan, kita merasa diabaikan, merasa kecewa dan merasa ditinggalkan. Padahal Allah paling tahu apa yg paling cocok untuk kita. Bahwa semua rencana-Nya adalah SEMPURNA.
Tempe 1/2 jadi tersebut tidak akan pernah dalam waktu singkat menjadi tempe karena itu melawan takdir qauniyah yang telah Allah tetapkan. Takdir qauniyah ini atau takdir kausalitas (sunnatullah) itu akan berjalan seperti biasanya. Itulah hukumnya. Seperti air akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Namun kita berharap dengan takdir ghaibiyah yang Allah tetapkan, seperti pertolongan yang Allah berikan dari arah yang tidak pernah kita duga. Contoh lain takdir ghaibiyah ini adalah kita tidak tahu di mana dan kapan kita meninggal karena itu rahasia-Nya. Namun, Dia telah menetapkan takdir syariat bagi manusia bahwa orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal kebaikan diberikan tempat kembali yang terbaik.
Allah mengingatkan di dalam Al Qur’an bahwa boleh jadi kita sangat menginginkan sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kita. Dan boleh jadi kita sangat tidak menyukai sesuatu, padahal itu banyak menyimpan kebaikan bagi kita. (Al Baqarah 216). Nah, di sini Allah ingin menegaskan Allah-lah Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik.
Ketahuilah, tugas kita sebagai manusia sederhana saja yaitu berusaha semaksimal mungkin, seikhlas mungkin, dan hasil akhir adalah ketentuan Allah, Penguasa Alam Semesta ini.
Semoga bermanfaat.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News