Kekuatan dalam Kesulitan: Menemukan Kedamaian Melalui Ujian
foto: linkedin
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana

Kita sering kali terbuai oleh kenikmatan dunia, hingga tidak siap menghadapi ujian yang datang. Kesabaran pun menjadi pendek. Padahal, harapan untuk masuk surga tanpa melewati ujian adalah khayalan belaka. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan dengan bermacam-macam cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”
(QS. Al-Baqarah: 214)

Kehidupan adalah siklus, seperti rotasi bumi mengitari matahari: ada siang, ada malam; ada masa senang, ada masa sulit.

Semua berubah, meski tidak selalu sesuai harapan. Begitulah kehidupan—ada awal dan ada akhir, pertemuan dan perpisahan, kebahagiaan dan kesedihan.

Kita tidak tahu semua jawaban atas misteri hidup ini. Perjalanan hidup adalah transisi yang penuh warna: ada saat menangis, ada saat tertawa; ada masa berjuang, ada masa beristirahat.

Semua masa ini adalah kehendak Allah Azza wa Jalla yang mengajarkan kita hikmah di balik setiap peristiwa.

Hidup ini bak peran yang kita lakoni di atas panggung. Seiring bertambahnya usia, kita belajar untuk menempatkan diri dengan bijak.

Tidak perlu merasa hebat sendiri, tidak perlu takut ditinggalkan, dan tidak perlu putus asa ketika gagal. Sebaliknya, kita juga tak boleh lupa diri di tengah keberhasilan.

Setiap manusia akan melewati masa-masa sulit: dihina, diremehkan, atau tidak dihargai. Namun, semua itu adalah bagian dari ujian untuk menguatkan hati dan mendewasakan diri.

Ada kalanya kita harus memilih atau menerima keadaan tanpa daya. Ada waktu untuk berbagi, dan ada saatnya menahan diri demi kebaikan.

Hidup ini seperti tangga yang terus kita naiki. Setiap anak tangga adalah ilmu, pengalaman, dan kedewasaan.

Namun, pada saatnya, tangga itu akan rapuh dan kita harus siap “jatuh” ke hadapan Allah Azza wa Jalla. Hidup ini sementara, dan hanya amal yang akan menjadi bekal kita di akhirat.

Bersabarlah di saat sulit, dan bersyukurlah di saat lapang. Jangan terlalu bersedih saat kehilangan, karena semuanya adalah bagian dari rencana Allah Azza wa Jalla.

Ujian yang mendekatkan kita kepada Allah jauh lebih baik daripada nikmat yang membuat kita lalai. Salamah bin Dinar rahimahullah berkata:

‏شيئان إذا عمِلت بهما أصَبْت بهما خير الدنيا والآخرة:
تعمل ما تكره إذا أحبَّه اللَّه، وتترك ما تحب إذا كرهه اللَّه.

“Ada dua perkara yang jika engkau lakukan, maka engkau akan meraih kebaikan dunia dan akhirat: engkau melakukan apa yang tidak engkau sukai jika Allah mencintainya, dan engkau meninggalkan apa yang engkau sukai jika Allah membencinya.” (Al-Ma’rifah wat Tarikh, jilid 1 hlm. 381)

Amal yang dilakukan karena Allah tidak akan sia-sia. Jadikan kelelahan kita sebagai lillah (karena Allah).

Jangan hentikan amal karena kecewa atau air mata yang membendung langkah kita. Allah Maha Melihat dan tidak pernah luput dalam menghitung amal hamba-Nya.

Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili berkata:

ظَنُّ الْمَرْءِ مِيْزَانُ عَقْلِهِ, وَفِعْلُهُ أَصْدَقُ شَاهِدٍ عَلَى أَهْلِهِ

“Prasangka seseorang adalah neraca akalnya, dan perbuatannya adalah saksi paling jujur atas dirinya.”

Hidup ini adalah perjalanan menuju-Nya. Setiap ujian adalah pintu menuju hikmah. Tetaplah berusaha dan bertawakal, karena Allah selalu bersama hamba-Nya yang sabar dan bersyukur. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini