Orang-orang yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah (Subhanahu wa Ta’ala) adalah mereka yang disebutkan di dalam surat An-Nisa melalui firman-Nya:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَداءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولئِكَ رَفِيقاً. ذلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفى بِاللَّهِ عَلِيماً
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (An-Nisa: 69-70)
Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna firman Allah (Subhanahu wa Ta’ala)., “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” (Al-Fatihah: 7) ialah orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka berupa ketaatan kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu; mereka adalah para malaikat-Mu, para nabi-Mu, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mere-ka itu bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, hingga akhir ayat. (An-Nisa: 69)
Abu Ja’far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi’ ibnu Anas sehubungan dengan makna firman-Nya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” (Al-Fatihah: 7). Makna yang dimaksud adalah “para nabi”.
Ibnu Juraij meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas r.a., bahwa yang dimaksud dengan “mereka” adalah orang-orang beriman; hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid. Sedangkan menurut Waki’. mereka adalah orang-orang muslim.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan, mereka adalah Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan orang-orang yang mengikutinya. Tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas tadi mempunyai pengertian yang lebih mencakup dan lebih luas.
{غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ}
“bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 7)
Menurut jumhur ulama, lafaz gairi dibaca jar berkedudukan sebagai na’at (sifat). Az-Zamakhsyari mengatakan dibaca gaira secara nasab karena dianggap sebagai hal (keterangan keadaan), hal ini merupakan bacaan Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wasallam) dan Khalifah Umar ibnu Khattab ra. Qiraah ini diriwayatkan oleh Ibnu Kasir. Sedangkan yang berkedudukan sebagai zul hal ialah damir yang ada pada lafaz ‘alaihim, dan menjadi ‘amil ialah lafaz an’amta.
Makna ayat “tunjukilah kami kepada jalan yang lurus” yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau berikan anugerah nikmat kepada mereka yang telah disebutkan sifat dan ciri khasnya. Mereka adalah ahli hidayah. istiqamah, dan taat kepada Allah serta Rasul-Nya, dengan cara mengerjakan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya.
Bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Mereka adalah orang-orang yang telah rusak kehendaknya; mereka mengetahui perkara yang hak, tetapi menyimpang darinya. Bukan pula jalan orang yang sesat. mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu agama). akhirnya mereka bergelimang dalam kesesatan. tanpa mendapatkan hidayah kepada jalan yang hak (benar).
Pembicaraan dalam ayat ini dikuatkan dengan huruf la untuk menunjukkan bahwa ada dua jalan yang kedua-duanya rusak, yaitu jalan yang ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan oleh orang-orang Nasrani.
Sebagian dari kalangan ulama nahwu ada yang menduga bahwa kata gairi dalam ayat ini bermakna istisna (pengecualian). Berdasarkan takwil ini berarti istisna bersifat munqati’, mengingat mereka dikecualikan dari orang-orang yang beroleh nikmat. dan mereka bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beroleh nikmat. Akan tetapi, apa yang telah kami ketengahkan di atas adalah pendapat yang lebih baik karena berdasarkan kepada perkataan seorang penyair, yaitu:
كَأَنَّكَ مِنْ جِمَالِ بَنِي أُقَيْشٍ … يُقَعْقِعُ عِنْدَ رِجْلَيْهِ بِشَنِّ
“Seakan-akan engkau merupakan salah satu dari unta Bani Aqyasy yang mengeluarkan suara dari kedua kakinya di saat melakukan penyerangan.”
Makna yang dimaksud ialah “seakan-akan kamu mirip dengan salah seekor unta dari temak unta milik Bani Aqyasy”. Dalam kalimat ini mausuf dibuang karena cukup dimengerti dengan menyebutkan sifatnya. Demikian pula dalam kalimat gairil magdubi ‘alaihim, makna yang dimaksud ialah gairi siratil magdubi ‘alaihim (bukan pula jalan orang-orang yang dimurkai). Dalam kalimat ini cukup hanya dengan menyebut mudafilaih-nya saja, tanpa mudaf lagi; pengertian ini telah ditunjukkan melalui konteks kalimat sebelumnya, yaitu firman-Nya:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ}
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (Al-Fatihah: 6-7)