Dimensi Manusia Sebagai Makhluk Berilmu, Begini Pandangan Guru Besar ITS
H. Abdullah Shahab saat menyampaikan khotbah Jumat di Masjid Al-Falah Surabaya
UM Surabaya

Prof. Dr. Ir. H. Abdullah Shahab, M.Sc, Guru Besar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri ITS, menjelaskan bahwa manusia memiliki keistimewaan sebagai makhluk berilmu, yang membedakannya dari makhluk lain.

“Ilmu adalah anugerah yang diberikan Allah kepada manusia, dan karena itu, manusia harus menyadari eksistensinya sebagai ciptaan Allah yang istimewa,” katanya saat menyampaikan khotbah Jumat di Masjid Al-Falah, Jalan Raya Darmo, Surabaya, Jumat (3/1/2025).

Menurut Shahab, manusia diciptakan dengan kemampuan untuk memahami pola (pattern recognition), yang menjadikannya entitas unik dalam ciptaan Allah.

Penjelasan tersebut selaras dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: “Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!'” (QS. Al-Baqarah: 31)

Shahab menjelaskan, kemampuan untuk memahami dan mempelajari adalah bukti keistimewaan manusia dibandingkan makhluk lainnya.

Oleh karena itu, kesombongan manusia terhadap ilmu menunjukkan ketidaksadarannya akan hakikat keberadaannya.

Terkait hal it, Nabi Muhammad saw pun bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)

Kesombongan bukanlah sifat yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang diberikan ilmu oleh Allah. “Makanya, kalau ada manusia sombong, berarti dia tidak tah eksistensinya,” tegasnya.

Sebaliknya, manusia harus mengapresiasi ciptaan Allah dan menjadikan ilmu sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Diakatakan Shahab, Islam menempatkan ilmu pada posisi yang sangat tinggi. Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan ahli ibadah, seperti sabda Rasulullah saw, adalah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang.

Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidurnya seorang yang berilmu (yakni orang alim yang memelihara adab ilmu) lebih utama dari pada ibadahnya orang yang bodoh (yang tidak memperhatikan adabnya beribadah).”

Hal ini menunjukkan bahwa ilmu membawa manfaat tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungannya.

Di era digital, sebut Shahab, akses untuk membuka ilmu semakin luas. Teknologi seperti ponsel pintar memberikan peluang besar bagi manusia untuk terus belajar dan meningkatkan pengetahuan.

Namun, Shahab mengingatkan bahwa ponsel dan pikiran harus digunakan dengan bijak agar ilmu yang diperoleh membawa manfaat, bukan mudarat.

Allah juga mengingatkan dalam Al-Qur’an agar ilmu yang dimiliki digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya: “Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.'” (QS. Taha: 114)

Shahab juga mengkritik anggapan bahwa orang berilmu cenderung menghadapi kehidupan yang sulit. Menurutnya, ini adalah ilustrasi yang keliru.

“Justru, orang yang sering menggunakan ilmunya akan menjadi individu yang lebih baik,” tegasnya.

Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

“Ilmu membantu seseorang memahami dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan di sekitarnya,” tandas Shahab.

Dalam Islam, ilmu mendapat tempat yang sangat tinggi. Meskipun seorang ilmuwan telah meninggal, ilmu yang ditinggalkannya akan tetap dikenang dan bermanfaat bagi generasi berikutnya.

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

Sebaliknya, orang yang jahil atau bodoh, meskipun masih hidup, diibaratkan sudah mati karena tidak mampu memberikan manfaat bagi dirinya maupun orang lain. (wh)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini