*)Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Melakukan introspeksi apa yang dilakukan masa lalu guna memperbaiki masa depan merupakan nasehat terbaik. Dengan mengetahui yang kurang maka manusia berhati-hati untuk tidak mengulangi keburukan yang telah dilakukan, dan akan mengisi dengan berbagai kebaikan di masa mendatang.
Hal ini selaras dengan narasi Al-Qur’an yang mensugesti manusia untuk menghitung kesalahan dan kekurangan di masa lalu guna meraih masa depan yang lebih baik. Namun introspeksi yang ditekankan Al-Qur’an bukan keuntungan dunia tetapi keberuntungan akherat. Hal inilah yang akan mendatangkan kebahagiaan di dunia maupun akherat. Era sekarang ini banyak manusia semakin dominan berorientasi dunia dengan mengesampingkan akherat.
Meluruskan Orientasi Akhirat
Al-Qur’an mengingatkan agar manusia senantiasa melakukan introspeksi dengan melihat masa lalu. Dengan melihat masa lalu, manusia akan terdasarkan berbagai kekurangan dan kerugian yang telah dilakukan. Ketika melihat hal itu, maka manusia diharapkan tidak mengulangi apa yang salah, sehingga terpacu untuk melakukan perbaikan di masa yang akan datang.
Melihat masa lalu dalam rangka untuk membangun optimisme. Rasa optimisme yang ditekankan Al-Qur’an bukanlah meraih keuntungan duniawi, tetapi memperhatikan perkara yang bernuansa ukhrawi. Artinya, penekanan untuk memperhatikan perkara akhirat menjadi hal yang utama dan prioritas.
Ketika akhirat menjadi perhitungan, maka manusia akan senantiasa memikirkan masa depan yang sebenarnya, dan tidak tersandera dengan perkara dunia. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖ ۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ĥasyr :18)
Pada ayat ini Al-Qur’an mengajak manusia untuk melakukan perhitungan dengan cermat atas apa yang telah dilakukan. Kalkulasi ini dilakukan dengan menghitung apaa pada masa lalu mengalami keuntungan atau justru kebuntungan. Sekali lagi dikatakan bahwa untung rugi dikaitkan dengan akherat bukan dunia.
Apakah masa lalu semakin dekat Allah atau justru menjauh. Apakah amal kemaksiatan banyak dilakukan atau amal kebaikan. Bukan menghitung apakah hartanya semakin banyak, rumahnya semakin megah, atau jabatannya semakin kokoh. Disinilah banyak manusia terkecoh, kecelik. Karena zaman ini menyeret manusia dengan menggeser kesuksesan dengan tolok ukur harta benda dan kekuasaan.
Banyak manusia merasa gagal dan sedih ketika tidak semakin kaya, atau popularitasnya terus menurun. Bahkan merasa rendah, ketika jabatannya menurun atau lepas dari tangannya. Sementara tidak merasa sedih dan menyesal ketika tidak sempat membaca Al-Qur’an, shalatnya sering terlambat, atau tidak pernah shalat malam, dan bahkan lupa menyambung tali silaturrahim dengan orang tua atau keluarganya.
Kemuliaan Orang Bertaqwa
Al-Qur’an menggarisbawahi bahwa manusia yang memperhatikan urusan akhirat, akan berbuat kebaikan dan senantiasa melakukan perbaikan berupa amal shaleh. Ayat di atas memanggil orang yang beriman untuk melakukan ketaqwaan. Setelah memanggil orang beriman, masih diminta untuk melakukan ketaqwaan.
Beriman disini bersifat teori, karena siapapun orang bisa mengaku sebagai orang beriman. Namun beriman saja tidaak cukup, tetapi harus dengan berbuat amal kebaikan yang bersifat empirik. Oleh karenanya, orang beriman diperintahkan untuk mempraktikkan ketaqwaannya dengan mengaplikasikan dalam kehidupan.
Aplikasinya untuk mempersiapkan akhiratnya bukan dunia. Bahkan kata bertaqwa diulang lagi di belakang sebagai penutup. Hal ini menandakan agar manusia memeriksa ulang atas pekerjaan yang telah diperbuatnya. Disini Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bersikap teliti atas semua perbuatannya. Oleh karenanya, Allah menunjukkan bahwa hamba yang beriman akan berbeda dengan mereka yang senantiasa memproduksi kejahatan. Allah menyatakan keduanya tidak sama, sebagaimana paparan Al-Qur’an :
لَا يَسۡتَوِيٓ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ ۚ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ
Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Ĥasyr : 20)
Gaya hidup manusia seringkali tak wajar karena memperturutkan hawa nafsu. Hal inilah yang membuat perilakunya menyimpang. Makan mestinya bisa sederhana, tapi memilih mewah. Tinggal di rumah yang semampu, tetapi memilih rumah mewah dengan cara berhutang. Hal inilah yang membuat hidupnya semakin berat dan bahkan berujung menderita. Perilaku menyimpang dan tak menerima keadaan inilah yang membuatnya frustrasi dan penyesalan karena beban hidupnya semakin berat. Tidak sedikit di antara mereka hidup tragis hingga berakhir bunuh diri.
Tetesan nilai-nilai Al-Qur’an tidak mampu melembutkan hatinya sehingga terus mengejar dunia dan lupa akhirat. Al-Qur’an merupakan petunjuk suci yang mampu menghancurkan gunung. Gunung yang sekokoh itu bisa luluh dan terpecah belah dengan Al-Qur’an, sementara manusia justru hatinya semakin mengeras dan membatu ketika dibacakan kepadanya. Al-Qur’an menggambarkan hal itu sebagaimana firman-Nya :
لَوۡ أَنزَلۡنَا هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَلٖ لَّرَأَيۡتَهُۥ خَٰشِعٗا مُّتَصَدِّعٗا مِّنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِ ۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَمۡثَٰلُ نَضۡرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir. (QS. Al-Ĥasyr : 21)
Allah memberikan permisalan dengan gunung batu yang kokoh, keras, dan cadas. Namun bisa luluh dan terpecah bila dibacakan Al-Qur’an. Namun manusia justru semakin mengeras hatinya melebihi batu gunung ketika diingatkan untuk koreksi diri. Al-Qur’an bisa dijadikan sebagai pelajaran untuk melakukan koreksi diri, tetapi bisa juga sebagai musuh ketika hatinya mengeras.
Surabaya, 4 Januari 2025