Bahaya Sifat Suka Pamer: Fenomena Modern yang Perlu Diwaspadai
Ilustrasi: earningdiary
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana

Salah satu sifat yang sering muncul pada manusia adalah kecenderungan untuk pamer dan berbangga-bangga atas apa yang dimilikinya.

Baru saja membeli ponsel baru, dia pamer. Punya mobil mewah, dia pamer. Memiliki anak yang pintar, dia berbangga-bangga. Bahkan dengan harta melimpah, dia bermegah-megah.

Sifat seperti ini dicela oleh Allah dalam Al-Qur’an:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2)

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1-2)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa sifat suka pamer dan bermegah-megahan hanya akan melalaikan manusia dari tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah kepada Allah dan mempersiapkan bekal menuju akhirat.

Dari sudut pandang kejiwaan, perilaku narsistik dan suka pamer dianggap oleh beberapa ahli psikologi sebagai bentuk gangguan kepribadian.

Menurut Dr. Jean M. Twenge dalam bukunya The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement, perilaku suka pamer adalah salah satu ciri dari narsisme, yang sering kali didorong oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan sosial.

Fenomena ini semakin marak di era media sosial, seperti yang terlihat pada penggemar selfie yang berlebihan—sedikit-sedikit selfie, sedikit-sedikit pamer, sedikit-sedikit posting.

Orang yang suka memamerkan barang tertentu biasanya adalah mereka yang baru pertama kali memiliki barang tersebut.

Misalnya, seseorang yang baru membeli mobil cenderung ingin memamerkannya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Sebaliknya, orang yang telah lama memiliki banyak mobil tidak lagi merasa perlu mencari pengakuan karena orang-orang di sekitarnya sudah tahu tentang kepemilikannya.

Selain itu, kebiasaan pamer dan sering memposting apa saja di dunia maya sering kali mencerminkan adanya kekosongan dalam kehidupan nyata.

Dr. Aric Sigman, seorang psikolog dan penulis buku The Body Wars, menjelaskan bahwa seringnya seseorang memposting hal-hal pribadi di media sosial dapat menjadi indikasi kurangnya rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri. Hal ini juga terkait dengan kebutuhan untuk mencari validasi dari orang lain yang sebenarnya bersifat sementara dan dangkal.

Dalam perspektif Islam, sifat suka pamer dan bermegah-megahan bertentangan dengan ajaran tawadhu (rendah hati) yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim, no. 2564)

Sifat suka pamer tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif pada orang lain, seperti rasa iri atau kurang percaya diri.

Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk melatih diri agar lebih bersyukur, rendah hati, dan fokus pada amal kebajikan daripada mencari pengakuan dari manusia.

Pesan Penting:
Jadilah pribadi yang bersyukur, rendah hati, dan tidak bergantung pada pengakuan orang lain. Hidup yang damai adalah hidup yang fokus pada kualitas, bukan sekadar pencitraan.

Referensi:

Twenge, Jean M., & Campbell, W. Keith. The Narcissism Epidemic: Living in the Age of Entitlement. Free Press, 2009.
Sigman, Aric. The Body Wars: Why Body Dissatisfaction is at Epidemic Levels. Piatkus Books, 2010.
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Shahih Muslim, Hadis No. 2564.

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini