Abdul Muttalib dalam doanya itu mengatakan seraya memegang pegangan pintu Ka’bah:
لاهُمَّ إنَّ المرء يمـ … نَعُ رَحْلَه فامْنع حِلالَك …
لَا يغلبنَّ صَلِيبُهم … ومحَالُهم غَدْوًا مِحَالك …
Ya Allah, sesungguhnya seseorang itu diharuskan membela ternak unta miliknya, maka belalah kepemilikan-Mu.
Janganlah sekali-kali Engkau biarkan salib dan kekuasaan mereka selamanya menang atas tempat-Mu ini.
Setelah itu Abdul Muttalib melepaskan pegangan pintu Ka’bah, lalu ia bersama orang-orang Quraisy lainnya keluar menuju ke daerah perbukitan, berlindungdi puncak-puncaknya. Demikianlah menurut Ibnu Ishaq.
Muqatil ibnu Sulaiman menyebutkan bahwa mereka meninggalkan di dekat Baitullah seratus ekor unta budnah yang telah dikalungi (untuk dikurbankan), dengan tujuan mudah-mudahan sebagian tentara Abrahah ada yang berani mengganggunya dan menyembelih sebagiannya tanpa hak, maka akibatnya Allah akan menghukum mereka.
Dan pada pagi harinya Abrahah bersiap-siap untuk memasuki kota Mekah, lalu menyiapkan gajahnya yang diberi nama Mahmud dan ia menyiapkan pula bala tentaranya. Setelah semuanya siap, maka mereka mengarahkan gajahnya menuju ke arah Mekah, tetapi sebelum itu Nufail ibnu Habib datang dan berdiri di dekat gajah, lalu berkata, “Hai Mahmud, duduklah kamu dan kembalilah dengan penuh kesadaran menuju ke tempat asal kedatanganmu, karena sesungguhnya engkau berada di negeri Allah yang disucikan,” setelah itu melepaskan telinga gajah Mahmud, yang dipeganginya saat ia membisikinya.
Maka gajah itu duduk, dan Nufail lari dengan kencangnya menuju ke daerah perbukitan dan berlindung di puncaknya. Mereka memukuli gajah itu supaya berdiri, akan tetapi gajah itu membangkang dan tidak mau berdiri. Lalu mereka memukul kepalanya dengan palu agar bangkit, dan mereka masukkan tongkat mereka ke bagian lubang telinganya, menariknya dengan tujuan agar mau berdiri, tetapi gajah itu tetap menolak. Kemudian mereka mengarahkannya ke negeri Yaman, dan ternyata tanpa sulit gajah itu bangkit dengan sendirinya, lalu berlari kecil menuju ke arah itu. Kemudian mereka mencoba untuk mengarahkannya ke negeri Syam, dan gajah itu menuruti perintahnya; mereka coba mengarahkannya ke timur, maka gajah itu mengikuti perintah. Tetapi bila diarahkan ke Mekah, gajah itu diam dan duduk.
Dan Allah mengirimkan kepada mereka sejumlah besar burung dari arah laut yang bentuknya seperti burung walet dan burung balsan; tiap-tiap ekor membawa tiga buah batu. Satu diparuhnya dan yang dua dipegang oleh masing-masing dari kedua kakinya; batu itu sebesar kacang humsh dan kacang ‘adas. Tiada seorang pun dari mereka yang terkena batu itu melainkan pasti binasa, tetapi tidak seluruhnya terkena batu itu.
Akhirnya mereka melarikan diri dan lari tunggang langgang ke arah semula mereka datang seraya mencari Nufail ibnu Habib untuk menunjukkan kepada mereka jalan pulangnya. Sedangkan Nufail berada di atas bukit bersama orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab Hijaz lainnya, menyaksikan apa yang ditimpakan oleh Allah (Subhanahu wa Ta’ala) kepada tentara bergajah itu sebagai azab dari-Nya. Dan ketika menyaksikan pemandangan itu Nufail berkata:
أينَ المَفَرُّ? والإلهُ الطَّالب والأشرمُ المغلوبُ غَيْرُ الْغَالِبْ
Ke manakah tempat untuk berlari dari kejaran Tuhan yang mengejar; Asyram kalah dan tidak menang.
Al-Waqidi meriwayatkan berikut sanadnya, bahwa mereka bersiap-siap untuk memasuki Mekah dan gajahnya telah mereka persiapkan pula, tetapi manakala mereka mengarahkannya ke salah satu tujuan dari tujuan yang lain, maka gajah itu mau bergerak. Dan jika mereka arahkan gajahnya menuju ke kota suci Mekah, tiba-tiba ia duduk dan mengeluarkan suaranya (menolak). Lalu Abrahah memaksa pawang gajah dan membentaknya, bahkan memukulinya supaya ia memaksa gajah agar mau masuk ke kota Mekah; mereka memakan waktu yang cukup lama untuk itu.
Sedangkan Abdul Muttalib dan segolongan orang dari para pemuka penduduk Mekah —antara lain Mut’im ibnu Adiy, Amr ibnu Aid ibnu Imran ibnu Makhzum, dan Mas’ud ibnu Amr As-Saqafi— berada di Gua Hira menyaksikan apa yang dilakukan oleh tentara Habsyah itu, dan apa yang dialami mereka dengan gajahnya yang membangkang itu; kisahnya sangat ajaib dan aneh.
Ketika mereka sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba Allah mengirimkan kepada tentara habsyah yang bergajah itu burung Ababil, gelombang demi gelombang yang warna bulunya kuning, lebih kecil daripada merpati, sedangkan kakinya berwarna merah; tiap-tiap burung membawa tiga buah batu kerikil. Lalu iringan burung-burung itu tiba dan berputar di atas mereka, kemudian menimpakan batu-batu itu kepada mereka hingga mereka binasa.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa tentara Habsyah datang dengan membawa dua ekor gajah; adapun gajah Mahmud hanya mendekam dan tidak mau bangkit, sedangkan gajah lainnya memberanikan dirinya dan akhirnya ia terkena batu itu.
Wahb ibnu Munabbih mengatakan bahwa mereka membawa banyak gajah, sedangkan gajah Mahmud adalah kendaraan raja mereka, Mahmud mendekam dengan tujuan agar gajah lainnya mengikuti jejaknya. Dan ternyata di antara kumpulan gajah yang mereka bawa ada seekor gajah yang memberanikan dirinya melangkah, maka ia tertimpa batu dan binasa hingga gajah lainnya kabur melarikan diri.
Ata ibnu Yasar dan lain-lainnya mengatakan bahwa tentara bergajah itu tidak semuanya binasa oleh azab seketika itu juga, bahkan di antara mereka ada yang segera mati, dan di antaranya ada yang tubuhnya rontok anggota demi anggota dalam pelariannya, yang pada akhirnya binasa juga. Sedangkan Abrahah termasuk dari mereka yang tubuhnya rontok anggota demi anggota, hingga akhirnya mati di tanah orang-orang Khas’am.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa lalu mereka melarikan diri, sedangkan anggota tubuh mereka rontok satu demi satu, dan di setiap jalan mereka mati bergelimpangan. Sedangkan Abrahah, tubuhnya terkena oleh batu itu, lalu mereka membawanya lari bersama mereka, dan tubuhnya rontok sedikit demi sedikit, hingga sampailah mereka bersamanya di San’a, sedangkan keadaan Abrahah seperti anak burung yang baru menetas. Dan Abrahah masih belum mati kecuali setelah dadanya terbelah dan jantungnya keluar; demikianlah menurut sahibul hikayat.