Aisyiyah memiliki kelebihan dibandingkan organisasi otonom Muhammadiyah (ortom) yang lain sehingga diberi nama organisasi khusus. Karena kekhususan itu pula, ‘Aisyiyah diberi ruang seluas-luasnya untuk menyamai Muhammadiyah.
Ungkapan tersebut disampaikan Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr. Hidayatulloh, M.Si., saat mengawali kajian Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) Gedangan bertema Ghiroh Bermuhammadiyah dan ‘Aisyiyah di TK ABA 1 Gedangan, Ahad (12/01/2025).
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (PWM Jatim) itu, Muhammadiyah memiliki sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi; maka ‘Aisyiyah juga punya.
“Begitu juga Muhammadiyah punya usaha bidang ekonomi, ‘Aisyiyah juga punya bidang ekonomi. Singkatnya, semua yang dilakukan Muhammadiyah tidak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah. Semangat Muhammadiyah sama dengan semangat ‘Aisyiyah,” ujarnya.
Beliau lantas mengutip enam pesan KH Ahmad Dahlan dalam bermuhammadiyah dan ber-‘aisyiyah.
“Keterangan pertama, jangan sesekali kamu menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain,” terangnya.
“Maknanya adalah kalau kita sudah menyatakan bermuhammadiyah, ya sudah, tidak boleh lagi nengok kanan atau nengok kiri ke perkumpulan lain. Apalagi jika sudah menjadi pimpinan. Kalau kita menduakan pandangan kita, maka tidak akan sesuai dengan pesan Ahmad Dahlan,” imbuhnya.
Yang kedua, lanjut Hidayatulloh, “Jangan sentimentil, jangan sakit hati kalau menerima celaan dan kritikan. Bahwa menjadi pengurus Muhammadiyah dan pengurus ‘Aisyiyah, semakin kita aktif, semakin banyak yang mengkritik. Itu yang saya rasakan,” paparnya.
“Orang yang suka mengkritik itu biasanya tidak banyak aktivitasnya di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, karena bisanya hanya mengkritik. Sedangkan kita sudah tidak ada waktu untuk mengkritik karena ada sekian banyak program yang harus kita selesaikan,” tegasnya.
Ketiga, sambung dia, “Jangan sombong, jangan berbesar hati kalau dipuji. Biasa saja, kita ini hanya menjalankan tugas. Menjalankan amanah ini orientasinya satu, mardhatillah, semata-mata ingin mendapat rida Allah,” jelasnya.
Pesan Kyai Dahlan yang keempat dalam bermuhammadiyah dan ber-‘aisyiyah yang disampaikan bapak tiga anak itu adalah tidak jubriya, akronim dari ujub, kikir, dan riya.
Menurut Hidayatulloh, yang dikhawatirkan Nabi SAW itu riya kecil. Misalnya, “Pak, masa kita ini tidak boleh pamer sama sekali? PCA Gedangan berhasil meraih prestasi menjadi PCA terbaik se-Indonesia,” ujarnya memberikan ilustrasi kepada puluhan pimpinan ‘Aisyiyah Gedangan itu.
“Tentu boleh dipamerkan, boleh bikin spanduk sebesar-besarnya dengan ucapan selamat dan sukses, sekaligus mengadakan bancaan se-PCA Gedangan. Malah bagus. Di dalam surat Ad-Dhuha dijelaskan, jika kamu mendapatkan nikmat, jangan diambil sendiri, maka umumkan, sebarkan, publikasikan,” terangnya.
“Riya itu menyangkut pribadi kita, niat yang terselubung di dalam hati kita. Hanya kita sendiri dan Allah yang tahu,” tegasnya.
Pesan kelima adalah ikhlas dan murni hati. “Kalau sedang berkembang harta, pikiran, dan tenaga. Misal, dulu PCA Gedangan tidak punya apa-apa, sekarang sudah punya TK. Suatu saat nanti punya amal usaha lagi. Nah, kita harus ikhlas, murni hati kita saat harta kita secara pribadi maupun kelembagaan sedang berkembang,” tukasnya.
Terakhir, pesan keenam KH Ahmad Dahlan adalah harus bersungguh-sungguh hati dan tetap teguh pendirian, jangan waswas.
“Mengurus ‘Aisyiyah, mengurus amal usaha itu harus fokus, tidak boleh setengah-setengah, apalagi ragu-ragu,” tegasnya.
Hidayatulloh lantas mengutip wasiat KH Ahmad Dahlan yang berbunyi:
“Mengingat keadaan tubuhku yang kiranya aku tidak lama lagi akan meninggalkan anak-anakku semua, sedangkan aku tidak memiliki harta benda yang bisa kutinggalkan kepadamu. Aku hanya memiliki Muhammadiyah yang akan kuwariskan kepadamu sekalian. Karena itu, aku titipkan Muhammadiyah ini kepadamu sekalian dengan penuh harapan agar engkau sekalian mau memelihara dan menjaga Muhammadiyah itu dengan sepenuh hati agar Muhammadiyah bisa terus berkembang selamanya,” ucapnya menirukan wasiat Ahmad Dahlan yang ditampilkan di layar untuk ibu-ibu pimpinan.
Maka, lanjutnya, semangat bermuhammadiyah dan ‘aisyiyah haruslah menjadi semangat yang menggelora pada setiap jiwa dalam perjuangan di Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah.
“Supaya kita ini punya semangat yang menggelora, tentu kita perlu mengetahui dan memahami Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah secara utuh,” tegasnya.
“Kita juga perlu mengetahui, memahami, mengamalkan, dan memperjuangkan visi dan misi perjuangan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Karena itu, kita perlu secara terus-menerus menyegarkan kembali pengetahuan dan pemahaman kita terhadap Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, seperti halnya di majelis ini,” lanjutnya.
“Kalau kita ambil secara ringkas, Muhammadiyah dirumuskan sebagai persyarikatan yang merupakan gerakan Islam dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, tajdid, dan tanwir. Berasaskan Islam berdasarkan Al-Qur’an dan as-sunnah, bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,” sambungnya.
“Namanya gerakan,” katanya, “Ya harus bergerak. Kalau bergerak, ada dinamika di sana. Tidak boleh jalan di tempat, apalagi berhenti,” ucapnya.
“Tapi bergerak juga tidak sekadar bergerak, tidak sekadar dinamis. Dinamika yang terjadi itu harus melahirkan perubahan. Dan perubahan yang diinginkan oleh Ahmad Dahlan adalah perubahan ke depan. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus berkembang dan bertingkat,” tegasnya.
“Muhammadiyah di masa awal dulu tidak punya apa-apa. Kyai Dahlan juga tidak punya apa-apa. Tapi Kyai Dahlan punya visi besar, punya cita-cita besar, dan beliau serius. Maka, mulailah dia membuat pengajian di rumahnya, membuat sekolah di rumahnya. Singkat cerita, tahun 1912 berdirilah Muhammadiyah yang terus berkembang hingga sekarang dan seterusnya,” pungkasnya. (dian rahma santoso)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News