Akal dan Syariat: Harmoni dalam Beragama
foto: freepik
UM Surabaya

*) Oleh: Ferry Is Mirza DM

Dalam menjalani hidup beragama, tidak sedikit orang yang menjadikan akal dan hawa nafsunya sebagai standar kebenaran. Ketika dalil atau nash agama sesuai dengan akal dan hawa nafsunya, mereka menerimanya.

Namun, ketika dalil bertentangan dengan akal atau hawa nafsunya, mereka cenderung menolaknya, bahkan menakwilkannya agar sesuai dengan keinginannya.

Padahal, dalam Islam, standar kebenaran bukanlah akal atau hawa nafsu, melainkan wahyu dari Allah.

Seandainya seseorang hanya mengikuti akalnya atau perasaannya dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka ia telah keluar dari koridor agama dan menjadi hamba hawa nafsunya.

Sebagaimana dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu:
“Seandainya agama ini diukur dengan akal, niscaya bagian bawah khuff (sepatu) lebih berhak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengusap bagian atas kedua khuff-nya.” (HR. Abu Daud)

Perkataan ini menunjukkan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan. Agama adalah wahyu yang memandu akal, bukan sebaliknya.

Dalil Ulama tentang Kedudukan Akal

Syekh Utsaimin rahimahullah menyatakan:
“Seandainya seseorang ketika mendekatkan diri kepada Allah mengikuti perasaannya atau pikirannya, niscaya dia telah keluar dari agama, karena sesungguhnya dia hanya mengikuti hawa nafsunya.” (Al-Liqa’us Syahry 40)

Syaikh Al-Albani rahimahullah menambahkan:
Agama bukan dengan akal atau perasaan, melainkan dengan mengikuti hukum-hukum Allah di dalam kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya.” (Silsilah Al-Huda wa An-Nur [530])

Bahkan Asy Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wad’ii rahimahullah berkata:
“Seandainya akal sudah cukup untuk menentukan kebenaran, Allah tidak akan mengutus para rasul atau menurunkan kitab-kitab.” (Ijabatus Sail 367-368)

Bahaya Mendahulukan Akal dan Hawa Nafsu

Mendahulukan akal dan hawa nafsu di atas dalil syariat adalah pangkal fitnah, penyimpangan, dan kesesatan. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan:
“Pangkal dari segala fitnah adalah mendahulukan akal daripada syariat, dan hawa nafsu daripada akal.” (Ighatsatul Lahafan, 2/165)

Al-‘Allaamah Asy-Syaatibiy rahimahullah menegaskan:
“Akal yang tidak mengikuti syariat hanya akan tunduk kepada hawa dan syahwat.” (Al-I’tisham, 1/67)

Teladan Umar bin Khattab dalam Mengedepankan Syariat

Sikap tunduk kepada dalil dicontohkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu anhu. Saat mencium Hajar Aswad, ia berkata:

“Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau hanyalah batu yang tidak dapat memberi manfaat atau mudarat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menciummu, aku tidak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan bahwa meskipun akal Umar tidak menemukan alasan logis untuk mencium Hajar Aswad, ia tetap tunduk pada sunnah Rasulullah.

Kesimpulannya, akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits yang sahih.

Jika ada dalil yang tampaknya tidak masuk akal, maka yang perlu diperbaiki adalah cara pandang manusia, bukan dalilnya.

Akal dan hawa nafsu harus tunduk kepada syariat, karena menjadikan akal dan hawa nafsu sebagai standar kebenaran sama saja dengan menjadikannya “tuhan”.

Allah Ta’ala berfirman:

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? (QS. Al-Jatsiyah: 23)

Orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai panduan hidup hanya mengikuti apa yang disenangi oleh nafsunya, tanpa peduli apakah hal itu benar atau salah menurut agama.

Sebagai Muslim, tugas kita adalah menundukkan akal dan hawa nafsu di bawah naungan wahyu, sehingga tercipta harmoni antara keduanya. Dengan begitu, jalan hidup kita akan senantiasa berada dalam kebenaran yang hakiki. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini