Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) tengah menggulirkan rencana pembatasan penggunaan media sosial untuk anak-anak.
Kebijakan ini menuai tanggapan positif sekaligus tantangan dari berbagai pihak, termasuk akademisi.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Dr. Poppy Febriana MMedKom, menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah yang baik tetapi memerlukan strategi pelaksanaan yang matang.
“Ini kebijakan yang patut didukung, tapi tentu tidak bisa hanya berupa larangan. Harus ada edukasi yang menyertainya agar anak-anak paham alasannya,” ujarnya pada Sabtu (27/1/2025).
Poppy mencatat bahwa kebijakan serupa telah diterapkan di sejumlah negara. Sebagai contoh, Australia melarang anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial sejak 2022, sementara Prancis mewajibkan izin orang tua bagi anak di bawah 15 tahun untuk membuat akun media sosial.
Menurutnya, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada pengawasan orang tua dan literasi digital masyarakat.
“Fitur seperti YouTube Kids itu membantu, tapi bukan solusi utama. Orang tua tetap harus terlibat langsung dalam pengawasan dan mengarahkan anak,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tantangan dalam literasi digital di Indonesia. “Kita ini masih rendah literasi dasarnya, tapi sudah melompat ke era digital. Akibatnya, banyak masyarakat yang memahami informasi secara dangkal,” ungkapnya.
Dr. Poppy mengingatkan bahwa media sosial, khususnya platform seperti TikTok, sering kali hanya menyajikan informasi dalam bentuk cuplikan tanpa konteks lengkap.
“Anak-anak kita terlalu mengandalkan TikTok untuk belajar, padahal itu sangat riskan karena informasi di sana sering tidak terverifikasi,” katanya.
Ia menilai bahwa pembatasan usia yang diterapkan di platform seperti Instagram dan YouTube masih belum cukup efektif.
“Kategori anak-anak itu sampai usia 18 tahun, bukan hanya 13 tahun seperti aturan di media sosial sekarang,” tuturnya.
Pendampingan langsung dari orang tua menjadi elemen krusial dalam implementasi kebijakan ini.
“Kalau hanya mengandalkan teknologi atau aturan, anak-anak akan tetap mencari celah untuk melanggar. Tapi jika ada pengawasan langsung, mereka bisa lebih bijak menggunakan media sosial,” katanya.
Poppy juga menyoroti konten media yang berpotensi memengaruhi perkembangan anak. Ia mencontohkan film Ice Age yang menurutnya memberikan pesan implisit bahwa teman juga bisa menjadi keluarga.
“Pesan seperti ini kadang membuat anak kehilangan makna nilai-nilai keluarga tradisional,” jelasnya.
Poppy menyarankan agar kebijakan ini disertai kajian mendalam mengenai tahapan usia anak dan strategi edukasi.
“Pembatasan media sosial hanya akan efektif jika diiringi dengan literasi digital, baik untuk anak maupun orang tua,” pungkasnya. (romadhona s)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News