Penganut rasionalisme memilih akal, jika ada dalil yang bertentangan dengan logika.
Padahal Islam sejatinya bukan didasarkan pada logika, namun Islam itu manut dan ikut pada apa yang dikatakan dalil walau terasa bertentangan dengan logika.
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya.
Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadis ini hasan).
Kata Ash Shon’ani rahimahullah:
“Tentu saja secara logika yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah sepatu daripada atasnya karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah.”
Namun kenyataan yang dipraktikkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah demikian. Lihat Subulus Salam, 1: 239.
Agama bukanlah logika. Agama bukan didasari pertama kali dengan logika. Bahkan sebenarnya dalil yang mantap dibangun di atas akal.
Jika tidak, maka perlu dipahami bahwa dalil sahih sama sekali tidak bertentangan dengan logika yang sahih. Karena dalam Alquran pun disebutkan:
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian.” (QS. Al Baqarah: 44).
Yang menyelisihi tuntunan syariat, itulah yang menyelisihi akal sehat. Makanya sampai ‘Ali mengatakan, seandainya agama dibangun di atas logika, maka tentu bagian bawah sepatu lebih pantas diusap. Namun agama tidak dibangun di atas logika-logikaan.
Oleh karenanya, siapa saja yang membangun agamanya di atas akal pasti akan membuat kerusakan.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 1: 370).
Hadis ‘Ali tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa agama bukanlah berdasarkan akal. Namun agama itu berdasarkan dalil.
Sungguh Allah sangat bijak dalam menetapkan hukum dan tidaklah Dia mensyariatkan kecuali ada hikmah di dalamnya.” (Tashilul Ilmam, 1: 170). (*/tim)