Sepenggal Kisah Pilu Perjalanan Haji
Ali Mu'thi (dua dari kiri) bersama jamaah haji di Arafah. foto: dok/pri

Kompleksitas haji tahun ini begitu berasa sekali. Karena di tahun 2023, jamaah Indonesia yang menunaikan ibadah haji jumlahnya lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Tahun ini pula menjadi prioritas jamaah lansia (lanjut usia) akibat penundaan lansia tahun sebelumnya. Sehingga jumlah lansia mencapai 45 persen dari keseluruhan jamaah haji Indonesia.

Akibat dari kebijakan tersebut, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan haji ramah lansia. Hal ini tercermin dari banyaknya poster di berbagai tempat yang terpampang Salah satunya bertuliskan, “Utamakan Lansia, Bahagiakan Lansia.”

Keberadaan lansia tersebut perhatian tersendiri. Pasalnya, lantaran cuaca ekstrem, banyak lansia yang membutuhkan penanganan khusus. Tercatat, sudah 265 orang, per Sabtu (1/7/20234), jamaah haji meninggal dunia.

Yang masih di rumah sakit lebih banyak lagi, sekitar 500 orang. Petugas kesehatan pun kewalahan menanganinya, utamanya saat Armuzna.

Armuzna adalah singkatan dari Arafah, Muzdalifah dan Mina. Ketiga tempat ini dijadikan sebagai puncak haji.

Kami dari KBIH Muhammadiyah Surabaya juga tak lepas menghadapi problem yang sama. Karena banyak lansia, begitu tiba di Madinah butuh penanganan ekstra. Apalagi saat Armuzna, Masya Allah luar biasa ujian berat buat KBIH kami dan lainnya.

Ironisnya, banyak jamaah menganggap bahwa urusan makan, tenda, transportasi seolah jadi urusan KBIH. Ini pada akhirnya membuat mereka meluapkan kekesalannya lantaran menganggap hal itu disebabkan ketidakberesan KBIH. Padahal ini murni jadi urusan maktab dan penyelenggara haji Indonesia.

Armuzna memang begitu memilukan. Mungkin karena overload jamaah, problemnya jadi pelik. Mulai dari soal tenda, kamar mandi, makan dan transportasi yang menyedihkan. Ini dirasakan amat berat. Utamanya bagi lansia kita. Tak ayal, 50 persen waktu dan fokus pikiran hanya untuk urusan lansia.

Kloter kami adalah SUB/35 gelombang pertama pemberangkatan akhir. Kami mengawali kegiatan Armuzna dengan tarwiyah terlebih dahulu. Begitu sampai tenda, kami kaget harus tidur di tempat yang cukup sempit dan umpel-umpelan.

Sebagian orang malah tidur sambil duduk karena tidak cukup untuk terlentang. Ada juga yang tidur di lorong-lorong jalan. Kondisi ini membuat jamaah syok berat karena tidak terbiasa dengan keadaan seperti itu.

Esok harinya, kami lanjut tarwiyah dengan keadaan yang sama dengan panas yang sangat ekstrem. Tetapi, karena Arofah adalah puncak haji, kami terus memompa jamaah terus bersabar dan mengumandangkan talbiyah di saat perut pada lapar karena tidak ada sarapan.

Makan baru datang pukul 11 siang. Kita terus dan terus memompa semangat jamaah untuk terus talbiyah. Jangan sampai ada yang tidur.

***

Di saat talbiyah berkumandang di tenda yang panas karena AC mati itu, saya perhatikan ada salah seorang jamaah telentang terus. Usai 1 jam kumandang talbiyah, saya coba dekati. Ternyata beliau sakit baru pulang dari rumah sakit dan lansung diantar ke Arafah.

Saya tidak begitu kenal dengan dia karena berbeda rombongan. Tetapi karena 1 KBIH saya jadi kasihan. Untuk berdiri saja dia sempoyongan. Saat ke kamar mandi dia juga kesulitan hingga akhirnya saya panggul.

Setelah selesai membuang hajat, saya panggul lagi dia ke tenda yang panas tersebut. Dia pun langsung telentang kembali. Sesekali kami paksa dia agar mau makan supaya tubuhnya tidak terus melemah.

Sejak itu, saya iba sekali melihat beliau yang belakangan saya ketahui namanya, Santo Sutrisno. Ketika senja mulai tergelincir, kami pun mulai bergeser ke Muzdalifah dengan antrean cukup lama.

Pak Tris, begitu ia karib disapa, kami panggul lagi menuju bus. Mencari bus akhir-akhir saja karena memang tidak ada kursi roda supaya tidak mengganggu jamaah yang lain.

Tepat jam 01.25, kami baru bisa bergeser ke Muzdalifah setelah antre menunggu bus yang lama. Begitu sampai Muzdalifah, kami langsung membopong kembali Pak Tris menuruni bus dan mencari tempat.

Begitu dapat, kami langsung tidurkan Pak Tri di Muzdalifah sambil menunggu subuh datang. Sembari kami berharap agar Pak Tris tidak minta ke toilet. Sebab posisi toilet jauh. Antreannya panjang. Alhamdulillah, sampai subuh tidak ada permintaan ke toilet dari Pak Tris.

Subuh berlalu. Rombongan KBIH Muhammadiyah yang tinggal 197 orang, 1 orang masih sakit di Madina dan 1 orang (namanya Yuli Ernawati) meninggal saat mau berangkat tarwiyah.

Kami bergeser ke pintu keluar pintu penjemputan Muzdalifah. Kami bertiga menahan diri tetap di tempat karena berat rasanya kami harus membopong Pak Tris menuju pintu antrean keluar yang padat tersebut dan belum tentu dapat kendaraan seketika.

Kami bertiga bertekad untuk tetap mendampingi Pak Tris sampai akhir dan yang penting ada bus. Oleh karena itu, kami sudah ketinggalan dengan rombongan cukup jauh karena kami tidak yakin Pak Tris bisa diajak antre di depan.

Sekitar 20 menit kami menunggu di tempat awal, kami agak kaget begitu Pak Tris meminta diantar ke toilet. Yang ada dalam benak saya, bagaimana cara membopong dia ke toilet yang jauh dan antreannya panjang tersebut.

Dalam kepanikan itu saya minta Pak Tris kepingin pipis di tempat saja dengan duduk dan sedikit membuka pakaian ihramnya, duduk di antara lalu lalang banyak orang.

Tiba-tiba di antara kami juga ingin merasakan hal serupa, ya sudah kita memlakukan hal yang sama seperti Pak Tris. Yang kami tahu tanahnya berpasir, tentu airnya bisa langsung keserap.

***

Kami masih bertahan di pintu kedatangan Muzdalifa maktab 34. Sedang teman-teman sudah mengantre di pintu keluar yang cukup jauh.

Eh, qodarullah, tidak disangka-sangka dari pintu kedatangan yang kami tempati tadi ada bus berhenti dan menawari kami untuk masuk dengan membawa Pak Tris yang sakit.

Spontan, kami membopong Pak Tris masuk bus. Alhamdulillah, justru kami yang ditakdirkan berangkat terlebih dahulu, sedang teman-teman masih mengantre di pintu keluar Muzdalifah.

“Alhamdulillah Ya Allah, inikah berkah mengurus dari kemarin Pak Tris sungguh Allah Membayar kontan atas kebaikan,” begitu desir batin saya.

Kami berempat meninggalkan terlebih dahulu meninggalkan Muzdalifah menuju Mina. Kami berdoa teman-teman yang lain bisa segera menyusul.

Cerita pilu berlanjut. Betapa menderitanya teman-teman yang antre di pintu keluar Muzdalifah hingga pukul 11 siang dengan sengatan matahari yang sangat panas.

Di samping kepanasan karena tidak ada tempat berteduh, mereka juga kehausan dan kelaparan karena tidak ada makan pagi. Tak ayak, tak sedikit jamaah yang pingsan. Termasuk tim kesehatan yang kewalahan ikut pingsan. Duh, cerita pilu luar biasa di Muzdalifah ini hampir-hampir akan jadi tragedi haji.

Pukul 05.30, kami sampai di Mina. Kami bersyukur berkali-kali karena sudah di tenda terlebih dahulu. Berkah mengurusi Pak Tris ini. Dapat dibayangkan kalau Pak Tris sampai tertahan di Muzdalifah sampai siang, tentu tidak akan kuat menahan panas yang menyengat.

Di Mina kami terus memberikan perhatian ke Pak Tris yang masih terbaring lemas di tenda, sembari sesekali kita koordinasikan dengan dokter untuk memeriksa kesehatannya.

Kondisi Pak Tris mulai agak lumayan jika dibanding saat di Arofah. Hanya problem belum bisa memasukkan makanan ke perutnya, hingga sesekali harus diinfus.

Alhamdulillah, keadaan masih bisa bertahan sampai kembali ke Makkah. Saat nafar awal jumrah, saya mewakili beliau selama tiga hari. Alhamdulillah, akhirnya samai hotel di Makkah. Hati kami jadi senang, karena Pak Tris sudah terbebas dari keras dan rumitnya problem Armuzna.

Di hotel, karena kamar kami yang berbeda, sesekali kami tengok kondisi beliau. Alhamdulillah, semakin membaik dengan pantauan ketat dokter dan perawat sambil sesekali diinfus karena makanan yang sulit masuk.

Hari itu, kami para karom dan karu bergegas ke tempat penyembelihan DAM 15 unta dan 96 kambing untuk jamaah haji. Untuk unta jaraknya cukup jauh dari Kota Makkah.

Dalam perjalanan kami dapat kabar bahwa Pak Tris dibawa ke rumah sakit karena kritis. Kami kaget, karena sebelum berangkat kami tahu kondisinya makin membaik.

Orang sekamar dengannya mengabarkan mendapati Pak Tris tak sadarkan diri dan bersandar dinding kamar mandi. Dalam keadaan kritis, dia langsung dibawa ke rumah sakit.

Saat dalam perjalanan pulang setelah melihat pemotongan unta dan kambing, kami mendapat kabar dari rumah sakit kalau Pak Tris telah tiada. Inna lillahi wa Inna ilaihi rajiun…

Turut berduka cita mendalam. Semoga Allah Swt menerima amal salehnya, mengampuni dosa dan kesalahannya, memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya. Semoga keluarga yang ditinggalkannya diberikan ketabahan dan kekuatan iman. Selamat jalan Pak H. Santo Sutrisno. Insya Allah mujahid.

Belajar dari peristiwa memilukan ini, saya dan juga jamaah lain berharap ke depan harus ada perbaikan. Utamanya rangkaian Armuzna. Mulai dari masalah transportasi, makanan, tenda dan utamanya toilet untuk jamaah perempuan. (*)

*) Ali Mu’thi, Wakil Ketua LHKP PWM Jatim dan Karom 3 KBIH Muhammadiyah Surabaya

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini