Sejak lahir hingga sekarang, Muhammadiyah tidak lepas dari tuduhan Wahabi/Wahabisme di negeri ini. Tentu, jika kita mendengar kata Wahabi, maka dalam diri pasti tertuju ke hal-hal yang negatif, radikal misalnya.
Jika kita melacak siapa salah satu tokoh pembaruan yang diinspirasi Kyai Dahlan, maka jawabannya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab salah satunya.
Jika telinga kita mendengar nama Abdul Wahab dilontarkan, mungkin tidak sedikit yang bilang Wahabi, iya Wahabi.
Tentu kita harus menelusuri siapa Abdul Wahab yang dimaksud pendiri Wahabi itu. Tidak semata-mata langsung melontarkan hal-hal negatif yang sangat sensitif. Terlebih di keluarga besar Persyarikatan Muhammadiyah.
Perlu kita ketahui bahwa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab itu bukan penganut ideologi Wahabisme. Akan tetapi yang dimaksud itu Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum.
Al-Wahabiyah merupakan firqah khawarij yang timbul pada Abad ke-2 Hijriyah, jauh sebelum masa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebutan Wahabi Nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum.
Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrem kepada ahli sunah, dan sangat jauh dari Islam.
Untuk menciptakan permusuhan di tengah umat Islam pada saat itu, kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang selalu mengajak untuk memurnikan Islam.
Karena dakwahnya sanggup merontokkan kebatilan, maka beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam.
Bahwa di masa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin, sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya.
Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, praktik-praktik syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajen, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal.
Salah satu daerah di Nejd, namanya Kampung Jubailiyah, terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khathab) yang syahid dalam peperangan melawan Musailamah Al Kadzab. Banyak yang berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah dan berbagai hajat.
Begitu pula di Kampung ‘Uyainah, terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ. Termasuk para kaum wanita yang belum mendapatkan pasangan hidup juga meminta ke sana.
Hal ini disebut Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.”
Al-Wahabiyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij. Maka penulis menegaskan kembali yang dimaksud adalah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya. Bukan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya.
Hal ini karena penulis menemukan ada beberapa dai di Indonesia, khususnya yang mengaitkan bahwa Muhammadiyah emoh dicap Wahabi, hal ini karena Kyai Dahlan terinspirasi dengan gagasan yang dibawa Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.
Karena yang diinspirasi Kyai Dahlan namanya juga Abdul Wahab, sehingga ada kesalahpahaman di antara kita yang mudah mengklaim tanpa menelusuri terlebih dahulu ataupun pengaruh politik yang ingin menyudutkan Muhammadiyah.
Prof. Yunahar Ilyas (kini sudah almarhum) pernah mengatakan, ”Bahwa tidak diragukan lagi, Kyai Dahlan banyak dipengaruhi ide-ide Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, khususnya dalam bidang akidah. Hal ini tentu saja memberi pengaruh pada gerakan Muhammadiyah yang didirikannya.
Bahkan beliau menegaskan, Muhammadiyah berbeda dengan Wahabi. Dalam hal dakwah khususnya, Wahabi bergandeng tangan dengan penguasa untuk menghancurkan tempat-tempat yang digunakan untuk melakukan perbuatan syirik secara frontal.
Sementara Muhammadiyah dalam ber-amar makruf nahi munkar lebih mengedepankan prinsip tausiyah, menyampaikan nasihat kebenaran.” (*)
*) Anas Febriyanto, Katua Bidang Tabligh PK Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Leviathan UINSA
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News