Pemimpin Indonesia, Mendayung Di Antara Sekularisme dan Islamisme (1)

Prof Dawam Rahardjo pernah menggunakan ungkapan awal di atas, saat mengupas pemikiran Sosialisme Islam HOS Tjokroaminoto yang saat itu tengah bertarung mazhab besar dunia: Mazhab Kapitalis dan Mazhab Komunis.

Asyik menyimaknya. Karena para pendiri bangsa ini bukanlah pemimpin karbitan, apalagi ecek-ecek. Bukan orang yang karena punya duit, muncul ke permukaan lalu menjadi pemimpin dan miskin ilmu plus nir-pergerakan.

Para pendiri bangsa sejatinya merupakan intelektual dalam arti yang sebenarnya. Mereka mendalami konsep-konsep filsafat, pemikiran keagamaan dan pergerakan sosial.

Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin utama Sarekat Islam, adalah salah satu sosok pemimpin pergerakan dan sekaligus pemikir yang menuliskan gagasannya dalam bentuk buku dan artikel di majalah maupun koran harian.

Simak saja tulisan HOS. Cokroaminoto dalam Islam dan Sosialisme, Program Asas dan Program Tanzhim Partai Sarekat Islam Indonesia, Tarikh Agama Islam, Reglemen Umum Bagi Ummat Islam, dan lainnya.

Tulisannya rapi, runtut, argumentatif dan filosofis. Tokoh yang disebut sebagai “Raja Tanpa Mahkota” ini, dalam menulis Asas dan Qanun Partai Syarikat Islam, membaca dan menelaah Alquran secara keseluruhan untuk menghasilkan rumusan dan pemikiran yang dituangkan dalam bentuk buku tersebut.

Bayangkan dengan hari ini, untuk menulis, banyak mengandalkan fasilitas tulisan artikel, makalah, dan buku yang ada Google.

Dulu, berjuang mati-matian (ijtihad) untuk membuat tulisan yang baik dan bermutu secara “manual”. Karena itu, pantas manakala menghasilkan produk pimpinan yang visioner, brilian, andal, dan tahan banting.

Bukan pemimpin karbitan, pragmatis, pencitraan, pembohong, dan lainnya. Karena para pemimpin zaman kemerdekaan, memang hasil seleksi alam yang ketat, bukan matang karena karbitan.

Itulah kualitas HOS Tjokroaminoto yang sering disebut oleh rakyat sebagai “Ratu Adil” (messiah), pemimpin yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh rakyat– Imam al-Muntazhar (menurut konsep Syi’ah)– untuk menyelamatkan kondisi bangsa jajahan di kepulauan Nusantara.

Beliau disebut sebagai “Guru Para Pendiri Bangsa,” karena pendiri bangsa semisal Soekarno, Kartosoewiryo, Semaoen, Alimin, KH Agoes Salim, Tan Malaka, Hamka, dan lainnya berguru kepada beliau.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah adalah di antara tokoh yang sering nimbrung dan bertukar pikiran dengan HOS Cokroaminoto.

Para pemimpin bangsa, merupakan pemikir, intelektual, dan cendekiawan sekaligus. Para pemimpin bangsa, berpikir ala filosof, menguasai teori-teori ilmu pengetahuan ‘ala intelektual, juga aktivis, menjadi pemimpin pergerakan sosial.

Mereka tidak banyak tidur, namun banyak berzikir munajat pada Ilahi saat hening di malam hari untuk mendapat petunjuk kebenaran.

Untuk memerdekakan bangsanya, mereka tidak menempuh jalan dengan menjauhi Tuhan dan anti Agama.

Hasil ijtihad pikir dan mujahadah dzikir, menghasilkan produk pemimpin-pemimpin ummat terbaik yang pernah dihasilkan di bumi pertiwi ini.

Tokoh-tokoh bangsa punya prinsip yang kokoh bagaikan batu karang, tahan hempasan ombak besar dan badai topan yang menerjang.

Tidak lekang karena panas dan tidak lapuk karena hujan. Dipenjara, gerakan perlawanannya semakin merajalela. Dijeruji semakin menjadi-jadi. Pendiriananya kuat, tidak mempan digoyang dengan rayuan jabatan dan gaji tinggi.

Di tahun 1930-an, para murid Tjokroaminoto terlibat dalam polemik sekitar bentuk negara. Apakah negara yang akan didirikan akan mendasarkan pada agama, ataukah negara yang akan didirikan, mengambil bentuk sebagai negara sekular?

Agama tidak dilibatkan, tidak ikut “cawe-cawe” dalam masalah politik kenegaraan? Atau bila dipersempit: Apakah negara yang akan didirikan akan mendasarkan kepada Agama Islam? Ataukah negara yang mendasarkan pada nasionalisme?

Banyak yang terlibat dalam polemik tersebut antara lain: Soekarno, A. Hassan (Persis), Muhammad Natsir, dan lainnya.

Bahkan polemik tersebut terbawa-bawa hingga ke sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam menentukan dasar negara Indonesia.

Namun pembahasannya didasarkan pada basik filosofis yang kuat, bukan asal bicara atau asal nulis, atau asal berbeda. Tidak.

Soekarno dan kelompok Nasionalis mengajukan gagasan negara kebangsaan sebagai bentuk negara Indonesia. Bukan negara yang didasarkan kepada Agama Islam.

Sementara A Hassan dan Muhammad Natsir, mengajukan gagasan Islam sebagai dasar negara. Islam adalah agama sempurna yang mengatur masalah-masalah ritual dan masalah siyasah kenegaraan.

Islam sudah melampau nasionalisme dalam memandang persoalan kebangsaan. Karena Islam tidak dibangun atas basis kesukuan, kebangsaaan, dan primordialisme ras.

Nasioalisme riskan terhadap diskriminasi, karena berdasar kepada primordialisme sempit dari suatu bangsa, suku, dan ras tertentu.

Sedangkan Islam, memandang sesuatu dari aspek religiositas, bukan asal-usul primordialnya.

Perdebatan tersebut sangat seru, hingga kulminasinya ketika disepakati Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai titik temu yang bisa disepakati atas peristiwa faith acompli atas 7 (tujuh) kata dalam Piagam Jakarta.

Pada akhirnya dapat disepakati titik temu dalam kalimat yang sangat filosofis: “Indonesia bukan negara agama, namun juga bukan negara antiagama”. (*/bersambung)

Baca juga: Pemimpin Indonesia, Mendayung Di Antara Sekularisme dan Islamisme (2)

Baca juga: Pemimpin Indonesia, Mendayung Di Antara Sekularisme dan Islamisme (3)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini