*) Oleh: Syahbana Daulay
Walau hidup digambarkan sebagai la’ibun wa lahwun (permainan dan senda gurau) (QS. Al Hadid: 20), tapi hakikatnya life is not game (hidup bukanlah permainan).
Pesan tersirat dari ayat tersebut adalah sebagai reminding (peringatan) agar kita hati-hati menyikapi hidup ini, sehingga tidak terjebak ke dalam permainan dan senda gurau (game and joke) itu.
Hidup bukan untuk main-main, bukan pula permainan dan senda gurau. Hidup adalah ketetapan dari Allah. Hidup bukan kebetulan, tapi kesengajaan, di-design dengan aturan Allah.
Hidup harus mengikuti petunjuk Allah (God’s guidance) agar selamat dan damai (faman tabi’a hudaya falaa khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanun).
Bumi dan seluruh isinya dihamparkan oleh Allah untuk kebutuhan manusia, bukan untuk selamanya, tapi untuk jangka waktu tertentu (ilaa hiin). Semua kebutuhan manusia disediakan Allah, tidak ada yang kurang dan salah.
Hanya pesan Allah, ikuti petunjuk-Ku, tempuh jalan yang lurus, jangan ikti hawa nafsu karena nafsu akan menggiring kepada permainan dan senda gurau dunia.
Walau demikian, Allah tidak memaksa, manusia diberi kebebasan memilih (freedom of choice), mau ikut Allah atau ikut thaghut, mau beriman atau kufur.
Bagi yang memilih jalan kekufuran, jelas hidup baginya adalah permainan, suka-suka. Hidup sekali kenapa tak dinikmati. Lahir sikap hedonis, mengumbar nafsu, jauh dari petunjuk Ilahi.
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ
Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”. (QS. Al-Jatsiyah: 24)
Model hidup seperti itu ibarat hujan yang turun menyirami bumi, lalu tanaman tumbuh subur menghijau, mengagumkan para petani.
Petani kemudian lupa diri dan lupa hakikat hidup. Tanaman pun tiba-tiba mengering, menguning dan meranggas, kemudian menjadi rapuh dan hancur seolah-olah tidak pernah tumbuh sebelumnya (lihat QS. Al Hadid: 20).
Begitulah hidup yang lepas dari aturan Allah. Agama (Islam) dikesampingkan, hak asasi dijadikan dasar pembenaran. Agama diabaikan dan dianggap penghalang.
Agama dinilai pengekang kebebasan dan hak manusia. Lahirlah sikap islamophobia. Orang takut beragama. Agama pun dijadikan musuh. Orang yang teguh memegang agama dicurigai, dimarginalisasi dan dimusuhi.
Allah Tidak Main-Main
Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang mengingatkan hamba-Nya bahwa hidup bukan permainan, tidak asal-asalan, dan bukan senda gurau.
Penciptaan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya bukan sekedar uji coba (trial and error), tapi di-design dengan baik dengan perhitungan matang, tidak ditemukan ketidakseimbangan dan cacat padanya (hal taraa min futhuur).
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لاَعِبِينَ (الأنبياء: 16)
Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.
Dalam surat Ash-Shad ayat 72 dijelaskan: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah“.
Hidup dan Tanggung Jawab
Selaku orang beriman, kita sadar bahwa hidup bukan main-main. Hidup tidak sekedar hidup. Hidup akan berakhir, manusia kembali kepada Sang Khalik. Setiap gerak dan tarikan nafas akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثاً وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُونَ (المؤمنون: 115)
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?
Rasulullah saw bersabda:
أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ، وَأَحْبِبْ مَنْ شِئْتَ فَإِنَّكَ مَفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ
“Jibril mendatangiku lalu berkata: “Wahai Muhammad! Hiduplah sesukamu, (tapi ingat) sesungguhnya kamu akan mati, cintailah siapa yang kamu suka, (tapi ingat) sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya, dan berbuatlah sesukamu, (tapi ingat) sesungguhnya engkau akan diberi balasan karenanya.” (HR al-Bukhari)
Seorang sastrawan besar bernama Leo Tolstoy yang mengalami kegelisahan di akhir hidupnya, di tengah kekayaan yang melimpah, tanah yang luas, istri yang setia, dan setumpuk pujian atas karya novelnya “Anna Karenina”.
Ia mengalami krisis spiritual yang dalam karena tidak menemukan jawaban pertanyaan “Apa makna kehidupan”. Setelah melakukan banyak hal, lalu itu semua untuk apa? Mengapa saya hidup? Apa makna hidup? Dan ke mana setelah kehidupan ini? (Harrie Ash Shiddiqie, 2017).
Beberapa saat sebelum kematiannya, sembari melihat lurus ke depan, Tolstoy berkata, “Aku tidak melihat jalanku!” (Yan Shenkman, 2014)
Mungkin masih banyak pesohor dunia yang perjalanan hidupnya tidak jauh dari apa yang dialami oleh Leo Tolstoy.
Agar hidup tidak gamang, tidak kehilangan arah, maka Allah menurunkan syariat, mengutus para Nabi pembawa risalah kebenaran.
Dibuat aturan agar hidup tertata rapi. Tidak berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Tidak merajalela kezhaliman, pengkhianatan, dan ketidakadilan.
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى (القيامة: 36)
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban?)
Hidup harus dipertanggungjawabkan biar tidak semena-mena. Kebaikan dibalas dengan kebaikan, keburukan dibalas dengan yang setimpal.
Maka hidup adalah pengabdian, bukan kepada penguasa atau atasan, tapi kepada Sang Khaliq alam semesta (QS adz-Dzariyat: 56)
Hidup yang gersang dari ibadah adalah kerugian. Aktifitas sejak bangun tidur sampai tidur lagi harus bernilai ibadah. Untuk siapa? Untuk Allah SWT. Shalat, ibadah, hidup dan mati hanyalah untuk Allah.
قُل إِنَّ صَلاتي وَنُسُكي وَمَحيايَ وَمَماتي لِلَّهِ رَبِّ العالَمينَ (الأنعام 162)
Ibadah bukan beban, tapi kebutuhan. Hamba yang beribadah dijamin kebutuhan hidupnya di dunia dan akhirat. Justru hidup yang kering dari ibadah dan mengingat Allah akan terasa sempit sesak (dhayyiqan harajan) bagaikan orang yang mendaki ke langit (yashsha’’adu fis sama’).
Mengakhiri tulisan ini, baik untuk disimak dialog antara Rasulullah saw dengan sahabat Mu’adz bin Jabal.
أنّ النبيّ صلّى الله عليه وسلّم سأل معاذ بن جبل رضي الله عنه فقال: هلْ تَدْرِي ما حَقُّ اللَّهِ علَى عِبادِهِ؟ قُلتُ: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: حَقُّ اللَّهِ علَى عِبادِهِ أنْ يَعْبُدُوهُ ولا يُشْرِكُوا به شيئًا ثُمَّ سارَ ساعَةً، ثُمَّ قالَ: يا مُعاذُ بنَ جَبَلٍ قُلتُ: لَبَّيْكَ رَسولَ اللَّهِ وسَعْدَيْكَ، قالَ: هلْ تَدْرِي ما حَقُّ العِبادِ علَى اللَّهِ إذا فَعَلُوهُ قُلتُ: اللَّهُ ورَسولُهُ أعْلَمُ، قالَ: حَقُّ العِبادِ علَى اللَّهِ أنْ لا يُعَذِّبَهُمْ
Bahwa Rasulullah SAW bertanya kepada Mu’adz bin Jabal: beliau berkata: “Apakah engkau tahu hak Allah atas hamba-hamba-Nya? Aku menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.
Beliau bersabda: “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”.
Lalu beliau berjalan sesaat, kemudian berkata: “Wahai Mu’adz bin Jabal”, Aku menjawab: “Aku penuhi panggilanmu wahai Rasulullah dan aku siap membantumu”.
Beliau berkata: “Apakah engkau tahu hak hamba atas Allah apabila mereka telah melaksanakannya?”
Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Hak hamba atas Allah adalah Dia tidak mengadzab mereka”. (HR al-Bukhari)
Raih jaminan dan keselamatan dunia akhirat dari Allah dengan penuh pengabdian dan penghambaan kepada-Nya, bukan dengan kedurhakaan dan melawan titah-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. (*)
(Artikel ini juga dimuat di suaramuhammadiyah.id)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News