Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya menggelar aksi solidaritas dan doa bersama untuk warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Digelar di pelataran Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/9/2023) petang, hadir perwakilan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan lainnya.
Acara dimulai dengan menyalakan puluhan lampu lilin yang menyala sebagai tanda harapan. Setiap perwakilan organisasi kemudian bergantian menyampaikan refleksi terkait kasus kemanusiaan di Rempang.
“Refleksi ini untuk mengatakan kita masih ada, rakyat ada, kedaulatan rakyat masih ada dan kita semua menjadi saksi dan itu amat berat. Sebagian dari kita mungkin mengaku aktivis dan intelektual dan itu berat tugasnya untuk menjadi saksi,” ungkap Wakil Ketua Bidang LHKP PP Muhammadiyah Widhyanto Muttaqien.
Konflik Agraria Rempang sendiri menurutnya bukan bagian terpisah melainkan rentetan dari banyak pelanggaran kemanusiaan yang selama ini telah terjadi di Papua, Wadas, Air Bangis, dan berbagai daerah di Indonesia.
Menyeru dukungan dari semua elemen masyarakat, Widhyanto menyebut bahwa Muhammadiyah akan memfasilitasi pembentukan posko kemanusiaan di Gedung Dakwah Muhammadiyah.
“Saatnya masyarakat bersatu menyuarakan menyambut panggilan itu dan kita bisa bergandengan tangan berjuang bersama menyatukan solidaritas warga dan membela yang tertindas,” ujarnya.
Sementara itu, perwakilan PGI, Pendeta Fery Vernandes Hutagalung juga mengecam upaya penggusuran paksa terhadap warga Rempang. Dia pun mengajak gereja-gereja yang ada bersolidaritas.
“Mari gereja-gereja yang ada di sana juga kita beri ruang dan bersolidaritas untuk Rempang,” tutur Fery.
Untuk diketahui, ribuan warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau terancam harus meninggalkan tempat tinggalnya karena rencana pembangunan PSN Eco-city. Padahal masyarakat adat telah meninggali kawasan itu jauh sebelum Indonesia merdeka.
Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luasan Pulau Rempang 16 hektare untuk proyek tersebut.
Masyarakat yang menolak untuk direlokasi secara sepihak pun bertahan hingga akhirnya terjadi penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat pada 7 dan 11 September 2023.
Polisi melontarkan gas air mata hingga anak-anak dilarikan ke rumah sakit. Hingga saat ini, 43 orang yang menolak relokasi ditangkap dengan dituduh provokator. (afn/ded)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News