Krisis iklim yang terjadi pada dua dekade terakhir tidak hanya diakibatkan oleh ketamakan manusia dalam mengeksplorasi bumi, melainkan juga karena kurangnya kebijakan afirmatif pemerintah di banyak negara untuk mendukung pembangunan yang ramah lingkungan.
Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dadang Kahmad, fakta itu nampak pada semakin tergerusnya ruang hijau hingga hutan-hutan sebagai korban untuk membuka industri manufaktur, pertambangan atau perkebunan baru.
“Saya kira ini mungkin kelalaian daripada pejabat-pejabat yang menangani masalah ini. Oleh karena itu, saya kira Muhammadiyah perlu mengadakan semacam peringatan kepada pemerintah supaya memperhatikan tata kelola lingkungan ini secara baik,” pesannya pada Catatan Akhir Pekan TvMu, Ahad (16/9/2023).
Dadang lalu mendorong majelis terkait di Muhammadiyah, yakni Majelis Lingkungan Hidup (MLH) untuk berperan aktif dan konstruktif dalam mencegah kerusakan lingkungan baik di tingkat kultural maupun struktural.
“Sebagai bagian dari dakwah Islam, saya kira bagus itu ditingkatkan peranannya seperti apa. Minimal kita memberikan nasehat kepada pemangku kekuasaan yang punya wewenang untuk bisa menangani lingkungannya sebaik-baiknya,” tegas Dadang.
Dirinya juga memandang bahwa aksi perusakan lingkungan termasuk dalam kejahatan luar biasa karena dampaknya bisa menimbulkan bencana bagi jutaan manusia.
Sedangkan pada aspek legal di mana sebuah kebijakan memberi ruang pada kerusakan lingkungan, hal itu kata Dadang masuk kategori sikap mengingkari nasionalisme.
Kata dia, Konsesi, izin untuk mengeksplorasi itu diberikan kepada orang-orang yang mungkin tidak peduli terhadap masa depan. Tidak perlu debat lingkungan.
“Sekarang mereka diberi konsesi untuk mengeksplorasi hutan sekian ratus hektar juta hektar, mereka diberi konsesi untuk menggali batu bara sebanyak-banyaknya dan ekspor, mereka diberi konsesi untuk mengeruk pasir laut lalu dijual ke negara-negara lain, merusak lingkungan ekosistem di laut. Itu semua kejahatan-kejahatan, semuanya terlibat, baik itu pelaku atau pemberi izin,” jabar Dadang.
Yang paling mengerikan, sebut dia, hasil penjualannya tidak dipakai kembali ke Indonesia. Tapi disimpan di bank-bank luar negeri. Sehingga ekspor kita; batu bara, nikel, kayu itu semua tidak ada yang kembali ke sini, tapi katanya disimpanlah di bank-bank luar negeri devisa itu.
“Kan itu suatu kejahatan multi, kejahatan yang berlipat-lipat terhadap lingkungan,” tandasnya. (afn/ded)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News