IDEALNYA, profesor adalah seseorang yang memiliki kapasitas keilmuan mumpuni dan memberikan kontribusi sosial berdampak terhadap pencerahan dan kemajuan bagi dunia akademik maupun masyarakat secara luas.
Sehingga, dari kapasitas dan peran tersebut, mereka diberikan pengakuan akademik tertinggi oleh perguruan tinggi dan masyarakat berupa gelar profesor.
Pertanyaannya, apakah yang terjadi di masyarakat seideal seperti kriteria di atas? Belum tentu!
Profesor adalah jabatan prestisius di dunia akademik, sehingga menjadi standar keilmuan dan status sosial tertinggi dalam dunia perguruan tinggi.
Orang yang sudah menyandang gelar profesor akan mendapat banyak fasilitas, mulai dari peningkatan pendapatan materi (tunjangan Profesor) hingga status sosial tinggi di masyarakat.
Jika menggunakan istilah tasawuf, profesor itu sudah berada di level “maqom makrifat”.
Dari latar di atas, menjadikan para insan akademik bahkan insan non akademik (pejabat, politisi, pengusaha, kokoh masyarakat) berlomba-lomba untuk mendapatkan gelar profesor dari dunia perguruan tinggi.
Baca juga: Khutbah Jumat: Amalan Meraih Surga
Bagi insan non akademik, gelar profesornya disebut dengan istilah “Profesor Kehormatan”. Fenomena ini menjadi pro kontra di tengah masyarakat.
Seperti kasus di UGM, sekitar 354 dosen UGM menolak pemberian gelar Profesor Kehormatan. (CNNIndonesia.com, 15/2/2023)
Menurut saya, perlu ada kajian dan pertimbangan secara mendalam bagi perguruan tinggi, terkait pemberian gelar Profesor Kehormatan agar tidak terkesan dan dicurigai masyarakat hanya untuk kepentingan politis.
Sebab, pemberian gelar profesor merupakan hal yang prestisius dan diharapkan berdampak pada percepatan tradisi pengembangan keilmuan di perguruan tinggi.
Saking prestisiusnya, sering kita dengar kasak-kusuk penggunaan segala cara untuk mendapatkan gelar profesor. Mulai dari cara yang benar (sesuai prosedur UU dan akademik), hingga yang tidak benar (suap, plagiasi, perjokian).
Pola ini mirip pola kerja di dunia gangster yang rapi, sistematis dan senyap. Yang penting dapat gelar profesor, selesai.
Tentu, pola tidak pantas dan mencederai kesucian dunia akademik. Karenanya kita harus lawan “Mafia Profesor”.
Dua pola tersebut, menghasilkan dua model profesor di Indonesia, yaitu Profesor Lobian dan Profesor Ilmu.
Profesor Lobian
Profesor lobian merupakan gelar profesor yang didapatkan karena hasil melobi para pemegang kebijakan yang mengurusi profesor. Bukan karena kapasitas karya keilmuan yang dihasilkan.
Sehingga, peran akademik kurang berefek bagi perkembangan keilmuan di perguruan tinggi tersebut. Ada istilah Arab “Wujudihi ka ‘adami” (Keberadaannya sama dengan ketidakadaannya) dalam konteks keilmuan bukan jabatan.
Baca juga: Hukum Memelihara Jenggot Tuntunan Atau Tradisi
Profesor lobian, untuk memenuhi kewajiban akademik (publikasi ilmiah-karya buku) sebagai syarat mendapatkan tunjangan, biasanya menggunakan tim joki dengan memberikan imbalan material. Bukan karya sendiri.
Sehingga sering ditemukan plagiasi karya profesor dengan mahasiswa. Seperti berita “Calon Guru Besar Terlibat Perjokian” yang dirilis di kompas.id (10/2/2023).
Profesor lobian, secara sosial, juga kurang aktif atau peduli memberikan kontribusi positif bagi pencerahan dan kemajuan masyarakat. Artinya, gelar Profesor sebagai identitas keilmuan tertinggi tidak memiliki pengaruh dengan problematika masyarakat yang membutuhkan solusi dari Profesor.
Gelar Profesor hanya untuk kebanggaan diri dan keluarganya, tidak bermanfaat untuk masyarakat.
Profesor lobian biasa yang dibicarakan lebih pada urusan material dan strategi lobi untuk mendapatkan gelar profesor ketimbang membahas dan mendorong pengembangan keilmuan.
Sehingga, kita tidak begitu mengenal pemikiran keilmuan profesor tersebut di dunia akademik, atau menjumpai kontribusi riil pemikiran dan peran sosial profesor tersebut di tengah masyarakat.
Profesor Ilmu
Profesor ilmu merupakan gelar profesor yang didapatkan karena kapasitas dan karya-karya keilmuan mumpuni dan peran sosial yang besar di tengah masyarakat.
Sehingga, mereka diakui dan layak diberikan gelar tersebut. Untuk memenuhi kewajiban akademik, dikerjakan dan dihasilkan sendiri sebagai komitmen menjunjung kesucian dunia akademik, sehingga hasil akademiknya orisinal.
Baca juga: Literasi Digital dan Peran Tokoh Agama
Profesor ilmu lebih suka membicarakan perkembangan ilmu pengetahuan dan selalu mendorong kepada insan akademik untuk terus meningkatkan kapasitas keilmuan.
Keberadaan profesor ilmu sangat dibutuhkan dan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan tradisi keilmuan dalam dunia perguruan Tinggi.
Dan jika kita bersama mereka, biasanya mereka sangat menginspirasi dan kita dapat banyak ilmu sehingga kita dapat pencerahan.
Profesor ilmu dalam peran sosialnya sangat berpengaruh di masyarakat. Selain aktif di dunia akademik, mereka aktif di pergerakan sosial kemasyarakatan.
Pikiran mereka memberikan solusi strategis bagi penyelesaian problematika masyarakat, bukan seorang “intelektual menara gading”.
Profesor ilmu, menurut Ali Syariati, disebut “Ulul Albab”. Sementara Antonio Gramsci menyebut “Intelektual Organik”. Dan, Kuntowijoyo menyebut “Intelektual Profetik”. Mereka hidup berasama masyarakat. (*)
Penulis: Dr. SHOLIHUL HUDA, M.Fil.I, sekretaris Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya