Menjadi Mufasir Itu Karunia atau Beban?
Amin Abdullah (knana). foto: ist
UM Surabaya

Dalam pandangan Khaled Abou El Fadl, seorang cendekiawan Islam, Alquran dan setiap teks lain seakan “diam seribu bahasa”, menunggu untuk dihidupkan oleh pembacanya.

Melihat fakta ini, pertanyaan mendasar muncul: apakah menjadi seorang mufasir adalah karunia atau beban?

Pandangan ini mendapatkan sorotan khusus dalam Konferensi Mufasir Muhammadiyah yang digelar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (11/11/2023).

Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam 1995-2000 Amin Abdullah menjelaskan bahwa peran seorang mufasir tidak hanya sebagai pembaca, tetapi juga sebagai penafsir yang memiliki otoritas.

“Al Quran dan juga teks lainnya itu sebetulnya diam seribu bahasa. Yang bisa membunyikan teks itu adalah pembacanya. Jadi, peran bapak ibu di sini itu penting sekali. Otoritas ada di pihak mufasir. Maka, apakah ini karunia atau beban?”

Karunia yang dimaksudkan adalah ruang keleluasaan dan keluwesan yang diberikan oleh penafsiran teks, memungkinkan penyesuaian makna teks sesuai dengan perkembangan zaman yang dinamis.

Namun, di sisi lain, karunia ini juga menjadi beban berat karena setiap mufasir harus mengambil tanggung jawab atas nilai-nilai normatif yang terkandung dalam teks.

Amin mengingatkan bahwa interpretasi teks sangat dipengaruhi oleh kualitas moral pembaca atau mufasirnya.

“Sebagai konsekuensinya, makna atau arti dari sebuah teks/nash sangat tergantung pada kualitas moral pembaca atau penafsirnya. Makna teks tergantung pada para penafsir, mau diarahkan ke mana?” tantang Amin.

Apabila Alquran ditafsirkan oleh seorang intoleran, maka teks tersebut akan menjadi ajakan perbuatan yang menyeramkan.

Namun, di tangan seorang yang humanis, teks tersebut akan bercorak toleran. Dengan tegas, Amin menyatakan bahwa wajah Muhammadiyah tergantung wajah mufasir Muhammadiyah.”

Penafsiran Ulang

Amin juga menyampaikan pandangan bahwa teks-kitab suci memiliki keterbatasan, sementara realitas kehidupan terus berkembang tanpa kendali penuh oleh para ulama.

Oleh karena itu, penafsiran ulang menjadi suatu keharusan untuk menjawab tantangan realitas. “Penafsiran ulang adalah keniscayaan,” tegasnya, mengutip Fazlur Rahman.

Menurut Amin, jika kegiatan penafsiran terhenti, akan timbul stagnasi, jumud, taklid buta, dan itulah yang sejak awal telah dikritik oleh Muhammadiyah.

Tanpa penafsiran ulang, masyarakat dapat memberontak dan beralih ke jalan sekuler karena agama tidak memberikan arahan yang relevan dengan perkembangan zaman.

Amin kemudian memberikan contoh konkret dari tafsir ayat QS. al-Rūm [30]:41. Menurut Ibnu Jarīr al-Thabarī (839-923 M), frasa ‘kerusakan di darat’ dapat dimaknai sebagai pembunuhan manusia, sementara ‘kerusakan di laut’ merujuk pada peristiwa perompakan.

Ibnu Katsir (1301-1372 M) mengartikan ‘kerusakan di darat’ sebagai terbunuhnya manusia akibat perselisihan dan peperangan, sedangkan ‘kerusakan di laut’ diartikan sebagai perompakan terhadap kapal-kapal kaum pedagang.

Namun, Amin Abdullah memberikan catatan kritis terhadap tafsir semacam ini. Ia menegaskan bahwa penafsiran yang telah ada perlu ditinjau ulang, terutama dalam konteks zaman modern seperti saat ini.

Sebab, aktivitas perompakan yang menjadi interpretasi pada masa lalu hampir tidak lagi terjadi. Yang ada saat ini adalah aktivitas ekonomi bisnis yang seringkali menghancurkan lingkungan.

Pandangan Amin Abdullah mencerminkan perlunya penafsiran yang sesuai dengan realitas zaman, mengingat konteks sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terus berubah.

Dalam era modern ini, mufakir perlu melihat ulang makna-makna yang mungkin telah usang dan tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini.

Dengan demikian, penafsiran ulang menjadi sebuah tuntutan untuk menjaga keaktualan dan relevansi ajaran agama dalam menghadapi perubahan zaman yang dinamis. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini