Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyampaikan, tugas menyelamatkan semesta dari perubahan iklim juga menjadi tanggung seorang muslim. Ikhtiar menyelamatkan semesta merupakan kesatuan dengan risalah kenabian dan kekhalifahan. Hal itu disampaikan Abdul Mu’ti pada Jumat (10/11/2023) dalam Mimbar Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma).
Namun harus diakui, ikhtiar menyelamatkan semesta tidak mudah, bahkan kerap menemui jalan terjal dan tidak bisa ditembus melalui jalur politik. Maka perlu ada alternatif jalur lain, yaitu jalur teologis.
Jalur teologis itu yang diusahakan oleh Muhammadiyah, salah satunya dengan diselenggarakannya Global Forum for Climate Movement pada, Kamis (16/11/2023) mendatang dalam satu rangkaian semarak Milad ke-111 Muhammadiyah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta.
Forum-forum global yang sedianya untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim justru lebih cenderung kepada orientasi bisnis. Mu’ti mengungkapkan, dari masalah perubahan iklim ini muncul istilah dagang baru yaitu carbon trade atau perdagangan karbon.
Abdul Mu’ti menjelaskan, perdagangan karbon tidak sama dengan menjual karbon. Melainkan, perdagangan karbon adalah bisnis mengurangi kerusakan dengan menanam pohon, dan luasan lahan yang ditanami itu akan berdampak pada pengurangan karbon, itu yang dijual.
“Itupun tidak tidak pada serius negara-negara mau, seperti Amerika itu masih tidak mau, itu padahal mereka di antara negara kontribusinya terhadap pemanasan global sangat tinggi,” ungkap Mu’ti.
“Kalau kemudian perubahan secara politik ini tidak bisa dilakukan, ikhtiarnya apa? Ya, tentu saja ada ikhtiar teologis. Kita mencoba memahami kembali pesan-pesan agama terkait dengan lingkungan,” sambungnya.
Menyitir Surat Al Baqarah ayat 11, Abdul Mu’ti menyebut kerusakan alam dilakukan oleh orang-orang munafik, yang ketika mereka ditanya tentang perbuatan merusak itu, mereka menjawab yang sedang dilakukan adalah untuk perbaikan di muka bumi.
Dengan alasan ekonomi, ribuan bahkan jutaan hektar hutan Indonesia hilang. Dalih yang digunakan untuk alih fungsi hutan tersebut juga untuk perbaikan. Mu’ti berpesan status hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia hilang. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News