Hisab hakiki adalah metode penentuan awal bulan kamariah yang dilakukan dengan menghitung gerak faktual (sesungguhnya) Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah mengacu pada kedudukan atau perjalanan Bulan benda langit tersebut.
Hanya saja untuk menentukan pada saat mana dari perjalanan Bulan itu dapat dinyatakan sebagai awal bulan baru terdapat berbagai kriteria dalam hisab hakiki untuk menentukannya. Terdapat dua metode hisab hakiki yang populer di Indonesia, yaitu:
Pertama, Hisab Hakiki Imkan Rukyat. Menurut kriteria ini, bulan baru dimulai apabila pada sore hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam, Bulan berada di atas ufuk dengan ketinggian sedemikian rupa yang memungkinkannya untuk dapat dilihat.
Para ahli tidak sepakat dalam menentukan berapa ketinggian Bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat dan ketiadaan kriteria yang pasti ini merupakan kelemahan kriteria bulan baru berdasarkan imkan rukyat.
Sebelum adanya keputusan dari MABIMS, Imkan RUkyat yang dipedomani Kementerian Agama ialah ketinggian hilal 2 derajat, sudut elongasi bulan-matahari 3 derajat, dan umur bulan paska konjungsi 8 jam (2-3-8).
Kriteria baru dari MABIMS yang kemudian diaplikasikan Kemenag ialah ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat (3-6.4). Kriteria baru ini pada masa akan datang diprediksi akan menghadapi tantangan implementasi di lapangan.
Kedua, Hisab Hakiki Wujudul Hilal. Menurut kriteria ini bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.
Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa. Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah.
Persamaan antara Imkan Rukyat dan Wujudul Hilal terletak pada keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam pada hari konjungsi.
Keberadaan Bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah inti makna yang dapat disarikan dari perintah Nabi saw melakukan rukyat dan menggenapkan bulan 30 hari bila tidak dapat dilakukan rukyat.
Bulan yang terlihat pastilah di atas ufuk saat matahari terbenam dan Bulan pasti berada di atas ufuk saat matahari terbenam apabila bulan kamariah berjalan digenapkan 30 hari.
Hanya saja dalam hisab imkan rukyat yang menuntut keberadaan Bulan harus pada posisi yang bisa dirukyat menimbulkan kesukaran untuk menentukan apa parameternya untuk dapat dirukyat, sehingga terdapat banyak sekali pendapat mengenai ini.
Para ahli tidak sepakat dalam menentukan berapa ketinggian Bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat. Kriteria MABIMS berbeda dengan negara lain seperti Mesir yang mensyaratkan sudut ketinggian hilal minimal 4 derajat, di komunitas Muslim Amerika minimal 15 derajat. Kriteria-kriteria ini hanya didasarkan pada kesepakatan belaka bukan alasan astronomis.
Karena itulah, hisab hakiki Wujudul Hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab imkan rukyat. Dalam Wujudul Hilal, jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk pada saat terbenam matahari, seberapapun tingginya (meskipun hanya 0,1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru. (*)
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, (Yogyakarta: Majelis Tarjih, 2009).