Para mubaligh Muhammadiyah didorong untuk tidak hanya piawai berbicara di atas mimbar, namun juga mampu menuangkan gagasan melalui tulisan yang memikat. Hal itu diyakini akan memberi manfaat lebih untuk menguatkan dakwah Muhammadiyah yang makin kompleks.
Pentingnya kemampuan itu ditegaskan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr. dr. Sukadiono MM dalam Creative Writing Workshop for Mubaligh Muhammadiyah (CWFMM) yang digelar di Kapal Hotel Garden, Malang, Sabtu sore (2/12/2023). Kegiatan ini diikuti oleh 55 mubaligh dari perwakilan wilayah se-Jatim.
“Kita tentu paham jika dakwah harus dengan baik. Karena ini butuh kemampuan untuk mengkomunikasikannya,” tutur dia.
Dia lalu mengutip Alquran surat An Nahl ayat 125 yang artinya, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk.”
Suko, begitu dia karib disapa, mengingatkan jika ada lima skill yang bisa dipertajam dalam komunikasi dakwah.
Pertama, speaking skill atau kemampuan berbicara. Biasanya para mubaligh sudah memiliki kecerdasan verbal. Mereka bisa berbicara lancar dan luas di hadapan publik untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah.
“Namun kecerdasan verbal saja belum cukup. Makanya butuh skill yang kedua, yaitu listening skill, kemampuan mendengar,” tegasnya.
Menurut Suko, para mubaligh perlu membedakan antara to hear (untuk mendengar) dan to listen (untuk mendengarkan). Sepintas kelihatan sama, tapi maknanya berbeda.
“Kalau to hear, gampangannya ‘masuk telinga kiri keluar telinga kanan’. Sama sekali tak berbekas. Ini yang kini sungguh saya rasakan terhadap para pemimpin hanya hanya bisa mendengar tanpa bisa meresapi persoalan masyarakat,” jabar dia.
Sebaliknya, imbuh Suko, to listen bisa dimaknai mendengarkan dan diresapi. Mampir nang njero ati (berbekas di dalam hati).
“Namun itu juga belum cukup. Mubaligh juga perlu dibekali skill yang ketiga, observation skill, yakni kemampuan mengobservasi permasalahan yang dihadapi seseorang maupun komunitas,” papar dia.
Dia lalu mengilustrasikan jika terjadi suatu bencana. Kita tidak bisa hanya menganjurkan untuk bersabar, tapi perlu melihat konteks apa yang dibutuhkan para korban bencana. Kebutuhan makanan, pakaian obat-obatan, dan sebagainya.
Yang keempat yang juga tak kalah penting adalah writing skill alias kemampuan menulis. Karena kemampuan menuangkan gagasan ini, sangat penting bagi para mubaligh.
Suko mengakui bahwa belakangan ini dia prihatin dengan wajah media sosial, terutama di grup perpesanan WhatsApp. Di medium satu ini, perdebatan urusan Pemilihan Presiden (Pilpres) begitu gencar.
“Bendino (tiap hari) bahasanne (membahas) Pilpes. Saling menjelek-jelekkan calon satu dengan calon lainnya. Tidak ada pesan moral yang kemudian bisa menjadi rujukan. Ini yang perlu saya ingatkan,” tegas Suko.
“Menulis pun nggak usah panjang-panjang. Cukup beberapa paragraf namun memiliki makna mendalam, sehingga orang mau membaca berulang-ulang. Kesempatan ini harus dimanfaatkan para mubaligh,” imbuh dia.
Ditambah lagi menurut Suko, kemampuan menulis ini sangat berkaitan erat dengan reading skill atau kemampuan membaca. Dengan membaca, wawasan menjadi luas dan literasi pasti menjadi baik.
“Jadinya menulisnya pun menjadi gampang. Makanya, saya mencanangkan Muhammadiyah bisa membanyak perpustakaan yang bisa diakses secara mudah,” pungkas Suko. (ded)