Sifat ilmu pengetahuan, sains dan teknologi yang dinamis dan selalu mengalami pembaruan ke versi yang lebih canggih menuntut pemahaman Islam yang adaptif, akomodatif, dan terbuka.
Sayangnya, umat Islam belum menemukan posisi yang mapan dalam menatap unsur-unsur tersebut kendati ayat-ayat Alquran lekat dengan semangat peradaban dan ilmu pengetahuan.
Kekosongan ini berusaha diisi Muhammadiyah dengan Risalah Islam Berkemajuan.
Meski masih memerlukan pengayaan lebih jauh, Risalah Islam Berkemajuan menurutnya potensial untuk menjadi fondasi bagi perumusan sebuah wawasan dunia (worldview).
Risalah ini hasil Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta. Kalau soal orang Muhammadiyah berkemajuan, itu memang sudah yang riil. Tapi kita mencari dasar-dasar teologisnya, saya kira masih perlu ada proses-proses.
Tapi yang built in dengan Islam itu sudah pasti berkemajuan. Jadi ini menjadi gerak Muhammadiyah dan insya Allah dengan cara ini akan ada akselerasi.
Jika urgensi menentukan pandangan alam cukup penting agar kemajuan yang dilakukan Muhammadiyah memiliki distingsi yang jelas, memiliki ruh Islami dan tidak terperosok ke dalam paradigma sekuler.
Ingin saya tegaskan bahwa yang tidak Muhammadiyah bisa maju, bahkan yang tidak muslim juga bisa maju. Tapi tentu kemajuannya berbeda.
Jadi, iqra bismirabbikaladzi-khalaqa itu bukan yang utama pada literasinya. Bukan. Sebab literasi itu sudah ada sejak pada masa Yunani di mana peninggalan karya ilmiah, kemelekan huruf, analisa filsafat sudah maju.
Tapi di mana posisi Tuhan? Maka begitu kita gagal menanamkan akidah itu, kemajuan akan menjadi sebuah perilaku destruktif yang sangat masif kalau tidak dikendalikan oleh panduan Tuhan.
Sejak zaman Nabi Adam, Islam sendiri memiliki esensi dan semangat kemajuan (at-taqadum) yang kontekstual.
Semangat inilah yang perlu diperkaya oleh Muhammadiyah dengan mengarahkannya menjadi Al-Islam Asyaddu At-Taqaddimiy (Islam yang kemajuannya lebih dahsyat).
Saya menyebut Al-Islam Asyaddu At-Taqaddimiy. Jadi lebih dalam konteks ini. Tapi nanti ketika diterapkan, at-tatbiq, tidak selalu melahirkan Islam at-Taqadddimiy (Islam yang maju), sehingga dalam konteks ini ada relativitas.
Salah satu kasusnya tentang pembuktian hilal. Realitas iptek dan sains yang dinamis diharapkan menjadi perhatian dalam pengayaan Risalah Islam Berkemajuan. Khususnya untuk membentuk mindset yang akomodatif dan terbuka.
Yang kesekian, boleh jadi yang sekarang kita anggap sebagai maju, itu nanti kemudian jadi tidak maju.
Sekarang ini pesawat terbang maju, tapi nanti kalau teori Einstein bisa diaplikasikan, maka (pesawat) itu tidak diperlukan karena ada (teknologi) yang lebih maju lagi (teleportasi), tubuh kita bisa diubah jadi energi dan lain sebagainya.
Di posisi inilah at-taqaddum al-Islamiy di situ. Sehingga saya sering menyebut kita melakukan dua gerak, pertama, scientific as in nash. Jadi nash (dalil-dalil) itu perlu dilihat secara scientific.
Tapi kedua, kita juga perlu melakukan yang tidak kalah penting, nushushi science (me-nash-kan sains) yang orang menyebut Islamisasi sains.
Maka yang saya sebut Al-Islam At-Taqaddum (Islam yang maju) itu tidak sekadar model taqadum-taqadum yang siapapun bisa ada di situ, tapi kita harus ada konteks. (*)
(Disarikan dari ceramah Dr Saad Ibrahim seperti yang dirilis muhammadiyah.or.d)