Memasuki usia ke-110 tahun, Muhammadiyah semakin kokoh dalam melaksanakan salah satu tujuan Republik Indonesia di dalam Preambule UUD 1945 yang berbunyi “memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”
Di bidang pendidikan tinggi saja Muhammadiyah telah memiliki 170 Perguruan Tinggi (82 di antaranya berbentuk universitas) yang tersebar di seluruh Indonesia serta satu di Malaysia, merujuk pada data Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah Januari 2023.
Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan jumlah Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2023 yang berjumlah 183 PTN (125 PTN berada di bawah Kemendikbud Ristek, 58 PTN dibawah Kemenag).
Di balik keberhasilan Muhammadiyah membangun pendidikan tinggi, ternyata ada sosok seorang murid Kiai Haji Ahmad Dahlan, yaitu Kiai Hisyam bin Haji Hoesni. Pada sosok inilah, fondasi pembangunan sumber daya manusia Indonesia melalui bidang pendidikan tinggi bermula.
Membangun Bangsa
Berangkat dari Surat Al-Ma’un, ide pembangunan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) di bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial lahir dari pembacaan Kiai Ahmad Dahlan terhadap tantangan zaman.
Pada masa hidupnya, kaum muslimin dihinggapi oleh kejahilan, kemiskinan, kekolotan, keterbelakangan hingga pemurtadan.
Gerakan pemurtadan yang masif di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada kisaran 1870 hingga 1920-an menjadi salah satu latar belakang lahirnya Muhammadiyah sebagai Gerakan Amar Makruf Nahi Munkar.
Untuk mengangkat martabat kaum muslimin sekaligus menahan laju misi pemurtadan, Kiai Ahmad Dahlan pun melakukan gebrakan dengan meniru strategi misi Zending. Jalur kultural pun dilakukan oleh Muhammadiyah.
Abdurrachman Surjomihardjo dalam Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930 (2008) menyatakan bahwa Kiai Dahlan terkenal toleran dengan mereka yang beragama lain dan berpikiran berbeda, sehingga beliau tanpa merasa malu meniru apa yang dilakukan oleh para penginjil Missie dan Zending dalam mendirikan sekolah, rumah yatim-piatu, rumah sakit, klinik, organisasi wanita, maupun kepanduan kendati menerima suara sumbang dari kaum tradisional.
Kiai Dahlan pun berani menerima resiko dituduh sebagai ‘Kiai Palsu’ atau bahkan ‘Kiai Kristen’ oleh sebagian pihak tradisionalis ketika memelopori berdirinya sekolah Islam dengan sistem sekolah dan metode pedagogis Belanda, demikian jelas Syarifuddin Jurdi dalam Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006 (2010).
Fakta tersebut sekaligus menampik tuduhan bahwa Kiai Ahmad Dahlan merupakan sosok muslim modernis yang kaku sebagaimana usahanya dalam membawa tema pemurnian agama yang dianggap banyak pihak memusuhi tradisi dan inovasi (bid’ah) secara jumud.
Bagi Kiai Ahmad Dahlan, usaha membangun berbagai amal usaha yang bergerak di bidang sosial dan kultural adalah sebuah gerakan dakwah yang bersifat strategis dan laten.
Fokus Kiai Dahlan dalam membangun pelayanan sosial-kemanusiaan terutama pendidikan dapat dikatakan beruntung karena sejak masa paling awal mendirikan Muhammadiyah, beliau ditemani oleh salah seorang muridnya yang terkenal cermat, teliti dan akuntabel, putra seorang wedana kelahiran Kauman, 10 November 1883 bernama Hisyam bin Haji Hoesni.
Dalam catatan sejarah, Kiai Hisyam turut menemani perjuangan Kiai Dahlan dalam meraih legalitas pendirian organisasi Muhammadiyah dari pemerintah Hindia Belanda. Bersama H. Abdul Ghani, H.M. Syudja’, H.M. Fachruddin dan H.M. Tamimy, Kiai Hisyam ditunjuk oleh Kiai Dahlan untuk menjadi anggota Boedi Oetomo sebagai langkah paling awal dalam meraih dukungan formal pendirian Muhammadiyah, demikian jelas Syarifuddin Jurdi (2010).
Kiai Hisyam sendiri merupakan seorang pengusaha Batik dan abdi dalem keraton Yogyakarta. Beliau tercatat menjadi anggota redaksi Majalah Suara Muhammadiyah bersama Kiai Dahlan, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito dan R.H. Hadjid, di bawah pimpinan H. Fachruddin, demikian tercatat dalam Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri (2013).
Memaksimalkan Ruang Politik Etis
Selama empat dekade dari 1901 sampai tahun 1942, pemerintah kolonial Hindia Belanda melaksanakan Politik Etis atau Politik Balas Budi. Kebijakan ini terdiri dari tiga fokus: irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Menurut Susan Abeyesakere dalam Jakarta: A History (1989), penerapan kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan sebenarnya dicanangkan oleh Belanda sebagai penyedia tenaga kerja terdidik.
Berbeda dengan Susan, Harry A. Poeze menyatakan maksud dari kebijakan Politik Etis adalah menyiapkan pemerintahan yang berfisik lokal dengan jiwa para kolonial. Namun, kebijakan ini ternyata justru membawa pergerakan revolusi dan semangat nasionalisme pribumi.
Terbukanya ruang bagi pribumi untuk mengikuti pendidikan atau menyelenggarakan pendidikan perlahan dimanfaatkan oleh Muhammadiyah.
Pada Rapat Anggota Muhammadiyah tanggal 17 Juli 1920 di Gedung Pengurus Utama (Hoofdbestuur) Muhammadiyah Kauman, Yogyakarta, Kiai Dahlan membentuk empat departemen pertama di Muhammadiyah beserta pemangku amanahnya, yakni Bagian Tabligh yang diketuai oleh Haji Fachruddin, Bagian Taman Pustaka dengan Haji Mochtar, Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem dengan Haji Syujak dan Bagian Sekolahan dengan Kyai Hisyam.
Memperoleh amanah di bidang sekolahan, Kiai Hisyam saat itu langsung menyampaikan visinya terkait target memajukan pendidikan bangsa dan pendidikan Muhammadiyah di masa depan.
“Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus bagian sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan gedung Universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan maha-maha guru Muhammadiyah guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya.”
Fastabiqul Khairat dengan Pemerintah Belanda
Pada tahun pertama berdirinya Muhammadiyah hingga satu dekade awal, Muhammadiyah telah memiliki puluhan sekolah. Ketika Kiai Hisyam memegang Bagian Sekolahan, pertumbuhan sekolah Muhammadiyah berkembang hingga berpuluh kali lipat.
Dalam usahanya mewujudkan ikrar yang telah dibacakan di depan pengurus Muhammadiyah, Kiai Hisyam dibantu Sosrosoegondo dan Djojosoegito mulai membangun sekolah Muhammadiyah sesuai dengan pembacaan Kiai Dahlan terhadap tantangan zaman.
Muhammadiyah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool) desa dengan persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu Muhammadiyah membuka vervolgschool sekolah sambungan untuk ke SR, Sekolah Rakyat.
Ketika Belanda membuka standaardschool enam tahun, maka Muhammadiyah menirunya pula. Termasuk menyamai usaha para misionari Katolik pada sekolah Al Kitab, Hollands Indlandse School met de Bijbel dengan sekolah Al Quran Hollands Inlandse School met de Qur’an milik Muhammadiyah.
Menariknya bahasa pengantar yang digunakan pada sekolah Muhammadiyah tersebut adalah bahasa Belanda. Hal ini berbeda dengan kebanyakan Sekolah Ongko Loro (kelas dua) yang disediakan oleh Belanda untuk warga desa dengan memakai pengantar bahasa daerah setempat.
12 tahun menjabat Bagian Sekolahan, Mawardi (1977) mencatat bahwa di akhir masa kepemimpinan Kiai Hisyam di Bagian Sekolahan pada 1932, Muhammadiyah telah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 HIS dan 25 Schakelschool.
Setelah berhasil meletakkan batu pijakan bagi pengembangan sekolah Muhammadiyah di Bagian Sekolahan, Kiai Hisyam terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah ke-3 pada 1932-1936.
Atas prestasinya tersebut, pemerintah Belanda merasa terbantu. Kiai Hisyam pun mendapat penghargaan Bintang Jasa dari Kerajaan Belanda bernama Ridder van Oranje Nassau. Gelar ini merupakan gelar ksatria atas jasa/kiprah signifikan pada kehidupan sosial di tingkat regional atau nasional.
Tiga bulan menjelang deklarasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya 20 Mei 1945 Kiai Hisyam menghadap ke rahmatullah dalam usianya yang ke-62 tahun. (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id