Innalillahi, Hasyim Jahja Wafat di Makkah
Hasyim Jahya semasa hidup bersama penulis (kanan). foto: dok/pri
UM Surabaya

Kamis (27/4/2023) malam, saat akan ke peraduan sekitar pukul 20.20 WIB ada pesan WA masuk ke smartphone saya: “Innalilahi wa Inna ilaihi Raji’un, barusan Ambo wafat. Mohon doa dan maafkan bila Ambo ada kesalahan. Maaf Bang gak bisa call dengan WA.”

Pesan WA itu dari adinda Jasir Bin Hasyim Jahya, salah seorang putra almarhum Hasyim Jahja yang dalam keluarga dipanggil Ambo, yang meninggal di usia 82 tahun.

Seketika saya beranjak dari peraduan. Lalu mengontak beberapa kerabat, di antaranya Ridwan Hisyam yang karib disapa Tatok.

“Kita doakan Ambo husnul khotimah,” tutur Tatok.

Begitu pula di WAG Fastabikhul Khairat isinya rasa duka dan doa dari keluarga besar Bani Jahja.

Ambo, bagi saya, bukan cuma paman, tapi juga panutan dan penuntun dalam menjaga keimanan.

Ambo bersama keluarga hijrah ke Makkah tahun 1974. Ketika tahun 2014 istri Ambo, Tante Asma wafat, saya pas ada di Makkah dan ikut memakamkan almarhumah setelah jenazahnya disalati di Masjidil Haram.

Waktu itu, almarhum Ambo dan almarhumah Tante Asma tinggal di kawasan Sare Sittin Makkah.

Sejak 2009 dan 2911, ketika penulis berhaji hingga kini setiap menunaikan ibadah umrah di bulan Ramadan selalu bersilaturahmi ke kediaman almarhum Ambo yang sekarang di daerah Baqa Quraysh Makkah.

Hampir setengah abad, persisnya 49 tahun, sejak 1974, Ambo bermukim di Kota Suci Makkah Al-Mukarramah hingga Ambo berpulang keharibaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Kamis sore 16.13 Waktu Saudi atau 20.13 WIB.

Menurut putra almarhum, Muchlis Hasyim, jenazah akan dikebumikan di kawasan pekuburan Ma’la, Mekkah, usai disalatkan di Masjidil Haram, Jumat (28/4/2023). Allahumma Inna ashaluka jannah wa naudzu billah minan nar.

Perjuangan Ambo

Nama Hasyim Jahya cukup dikenal di Kota Surabaya. Dia pernah menjabat sebagai ketua Yayasan Masjid Mujahidin di kawasan Perak, Surabaya. Semasa muda,  Hasyim dikenal sebagai muazin, kemudian dia banyak terlibat dalam urusan dakwah Islam sebagai penceramah.

Tahun 1974, putusan menggelar World Council of Churches Assembly alias Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) ke-5 di Jakarta sudah bulat. Pemerintah Soeharto merestui kendati umat Islam mengecam keras.

Tokoh umat sudah angkat suara. Umat pun bergerak. Sayang, pemerintah bergeming. Sidang tinggal menghitung hari. Hari-hari yang menggelisahkan.

Hasyim Jahja yang masih muda menuju Jakarta, Juli 1974. Berbekal tekad bulat dan keberanian serta kecerdikan, Hasyim mendatangi rumah pengurus DGD.

Entah bagaimana caranya, melalui samaran ia berhasil lolos dari penjagaan aparat. Berbekal tekad bulat dan keberanian, ia menggagalkan rencana sidang tersebut seorang diri dengan cara di luar perkiraan semua orang ketika itu.

Pada akhirnya pihak DGD segera alihkan lokasi sidang raya dari Jakarta ke Nairobi, Kenya.

49 tahun pasca gagalnya sidang DGD penistaan agama dari penguasa Jakarta kini terjadi. Aparat hukum terkesan kurang cepat menangani kasus penistaan agama Islam. Bahkan, ulama dipersekusi dengan tuduhan radikal.

Kita sungguh tidak diharapkan situasi bandel mirip masa Hasyim Jahya terpancing panas jiwa mudanya. Dan semodel Hasyim Jahya melakukan peran sendiri yang tidak merepotkan ribuan saudara seiman.

Selamat jalan, Ambo. (*)

Penulis: FERRY IS MIRZA DM, Aktivis Muhammadiyah dan Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Jatim

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini