*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana
Pernahkah terlintas dalam benak kita, mengapa seorang muslim yang taat kepada Allah Ta’ala terkadang hidup dalam kesulitan, sedangkan orang-orang kafir terlihat menikmati kemewahan dunia?
Padahal, seorang muslim hidup dalam ketaatan kepada Allah, sementara orang kafir berada dalam kekufuran kepada-Nya.
Pertanyaan ini pernah diungkapkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu ketika melihat kondisi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Suatu hari, Umar mendatangi rumah Nabi dan mendapati beliau tidur di atas dipan kasar yang terbuat dari serat. Bekas dipan itu tampak di tubuh beliau. Umar pun menangis melihatnya.
Rasulullah bertanya, “Apa yang engkau tangisi, wahai Umar?”
Umar menjawab, “Bangsa Persia dan Romawi menikmati nikmat dunia yang melimpah, sedangkan engkau, utusan Allah, hidup seperti ini?”
Rasulullah menjawab, “Wahai Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang Allah segerakan kenikmatan dunia mereka.”
(HR. Al-Bukhari, 2468)
Hadis ini menunjukkan bahwa kenikmatan dunia yang dirasakan oleh orang-orang kafir adalah sesuatu yang disegerakan oleh Allah. Namun, hal tersebut bisa menjadi istidraj (penangguhan nikmat sebelum azab yang berat menimpa mereka). Ketika mereka wafat, azab Allah yang sangat pedih akan menjadi balasan bagi kedurhakaan mereka.
Nikmat Tertinggi: Islam dan Iman
Sebagai seorang muslim, kita telah diberikan nikmat yang luar biasa, yaitu nikmat Islam dan iman. Kenikmatan ini adalah pembeda terbesar antara kita dan mereka yang kufur kepada Allah. Sungguh, kenikmatan dunia tak sebanding dengan kenikmatan akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Demi Allah! Dunia dibandingkan dengan akhirat, hanyalah seperti seseorang mencelupkan jarinya ke dalam lautan. Maka perhatikanlah, apa yang dibawa oleh jari tersebut?” (HR. Muslim)
Bandingkan dunia dengan akhirat: apa yang ada di dunia hanyalah setetes air dibandingkan lautan luas. Maka, jangan sampai kita terpedaya oleh kenikmatan dunia yang fana.
Perhatian Umar kepada Rasulullah
Kisah Umar bin Khattab juga menunjukkan betapa besar perhatian beliau kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Umar tidak tega melihat kondisi Nabi yang hidup sederhana, sementara para pemimpin bangsa kafir hidup mewah. Hal ini adalah pelajaran bagi kita bahwa ukuran kemuliaan seseorang bukanlah harta dunia, melainkan ketaatannya kepada Allah.
Kisah Inspiratif Hakim Agung Mesir
Sebagai penutup, mari kita renungkan kisah Al-Hafizh Ibnu Hajar, seorang hakim agung di Mesir. Suatu hari, Ibnu Hajar melewati seorang Yahudi penjual minyak zaitun yang berpakaian kotor.
Yahudi itu menghentikan kereta beliau dan berkata, “Nabi kalian bersabda, ‘Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.’ Engkau, seorang hakim dengan rombongan pengawal dan kenikmatan dunia, sementara aku hidup dalam kesengsaraan. Bagaimana ini bisa terjadi?”
Ibnu Hajar menjawab, “Apa yang aku rasakan saat ini, dengan segala kemewahan, adalah penjara jika dibandingkan dengan kenikmatan surga. Sedangkan apa yang engkau rasakan, meskipun tampak sengsara, adalah surga jika dibandingkan dengan azab neraka.”
Mendengar jawaban tersebut, Yahudi itu berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” Orang Yahudi itu pun masuk Islam.
Dunia memang sementara, sementara akhirat adalah tempat tinggal yang kekal. Janganlah kita iri kepada kenikmatan duniawi yang dimiliki orang-orang kafir, karena nikmat terbesar seorang muslim adalah iman dan Islam.
Kenikmatan dunia hanyalah ujian, sementara balasan di akhirat adalah sebaik-baiknya ganjaran. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News