Dari Seorang Warga, Mantan Diaspora, dan Kader Muhammadiyah untuk Ira Puspadewi
Ada kalanya sebuah berita membuat kita berhenti sejenak, menarik napas dalam, lalu bertanya, “Mengapa seseorang yang begitu rapi jalan hidupnya harus menerima nasib seberat ini?”
Itulah yang saya rasakan ketika membaca kabar vonis terhadap Ira Puspadewi, seorang perempuan yang bagi saya mewakili integritas, profesionalisme, dan dedikasi, baik sebagai pemimpin BUMN maupun sebagai kader Muhammadiyah.
Saya mengenal nama Ira bukan dari kasusnya, tetapi dari rekam jejaknya. Ia bukan sekadar perempuan karier yang sukses. Ia pernah pulang dari dunia korporasi internasional, meninggalkan posisi aman dan mapan di luar negeri untuk mengabdi di tanah air. Ia memimpin Sarinah, Pos Indonesia, sampai ASDP. Dan di setiap tempat, ia membawa jejak yang sama: rapi, tertib, tanpa gaduh, dan jauh dari gaya hidup glamor pejabat.
Dan yang paling membuat saya tertegun:
Ira adalah kader Muhammadiyah.
Tercatat resmi sebagai Wakil Bendahara II Majelis Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata Muhammadiyah.
Seorang muslimah yang menjaga prinsip, yang sudah terbiasa bekerja dalam sunyi, memberi dalam diam.
Ketika membaca kembali kisah-kisah yang dituliskan sahabat lamanya, saya menemukan potongan-potongan kecil yang justru paling menyentuh. Ira yang naik kelas ekonomi di pesawat meski memimpin BUMN besar. Ira yang memilih menginap di hotel Amaris ketika direktur lain memilih hotel bintang lima. Ira yang malah menampung teman di rumahnya ketika sang teman sedang menghadapi masa sulit.
Kita sering bicara soal integritas, tapi Ira menunjukkannya justru di saat-saat yang tak terlihat kamera. Itu yang membuat kasus yang menimpanya terasa janggal bagi banyak orang.
Terlebih ketika Ketua Majelis Hakim sendiri menyatakan dissenting opinion. Bahwa apa yang dilakukan Ira adalah aksi korporasi yang sah, dilindungi Business Judgment Rule, dilakukan dengan itikad baik, dan melalui proses yang transparan. Bahkan uji tuntas dilakukan oleh tujuh lembaga, termasuk BPK, BPKP, Deloitte, dan PWC.
Di titik itu, saya bertanya sendiri. Kalau seorang profesional yang mengikuti prosedur, melakukan uji tuntas, tidak mengambil keuntungan pribadi, dan bekerja dengan integritas pun tetap tersandung, apa kabar yang lain?
Sebagai seorang warga negara, mantan diaspora yang dulu kembali dengan semangat ingin melihat Indonesia lebih maju, dan sebagai kader Muhammadiyah yang percaya pada nilai keadilan, kejujuran, dan kerja keras, saya merasa perlu menuliskan dukungan ini.
Bukan dukungan untuk membela membabi buta.
Bukan pula untuk mengintervensi proses hukum.
Namun sebagai pengakuan atas manusia yang saya lihat bersih jalannya, yang saya harap mendapatkan keadilan seadil-adilnya. Seorang perempuan yang tidak hanya membangun perusahaan, tetapi juga membangun manusia: teman, sahabat, dan komunitasnya.
Ira telah memberi banyak pada bangsa ini. Lebih dari sebagian besar dari kita.
Ia pulang ketika banyak memilih menetap di luar negeri.
Ia bekerja ketika banyak memilih kenyamanan.
Ia menata sistem ketika banyak memilih zona abu-abu.
Dan bagi saya, seorang yang bekerja sejujur dan sekeras itu, tidak seharusnya berdiri sendirian ketika badai datang.
Saya hanya bisa berharap, dan ikut mendoakan, agar proses berikutnya menghadirkan keadilan yang sebenar-benarnya. Agar suara jernih seperti pandangan Hakim Sunoto menjadi pijakan bagi upaya banding. Agar nama baik yang tercoreng dapat dipulihkan. Dan agar sejarah kelak mencatat bahwa Ira Puspadewi adalah contoh seorang muslimah profesional Indonesia yang tetap tegak meski diuji dengan keras.
Sebagai warga, sebagai kader, dan sebagai sesama manusia, saya ingin mengatakan. Ira tidak sendiri.
Dan kebenaran, jika memang berpihak kepadanya, semoga menemukan jalannya kembali. (Ismail Fahmi dalam https://www.facebook.com/share/v/1D8jw5CTX4/)
